Kamis, 30 Desember 2010

Ilmu Sastra

CABANG ILMUSASTRA

1.    TeoriSastra
2.    SejarahSastra
3.    KritikSastra

a)    Teori Sastra; menyelidiki dasar-dasar pengertian tentang hal-hal yang bersangkut paut dengan sastra, misalnya hakikat sastra, genre/jenis sastra, aliran-aliran, gaya bahasa, unsur cerita, dll.
b)    Sejarah sastra: cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak dari mula pertumbuhannya sampai perkembangannya yang sekarang.
c)    Kritik Sastra: cabang ilmu sastra yang mengadakan penyelidikan langsung terhadap suatu karya sastra tertentu. Ia mengadakan pendalaman dengan analisis serta penafsiran, kemudian berusaha memberikan suatu penilaian tentang berhasil atau tidaknya suatu karya sastra.

OBJEK PENYELIDIKAN SEJARAH SASTRA

1.    Perkembangan/timbul tenggelamnya suatu genre sastra, misalnya sejarah perkembangan novel, cerpen, puisi, dsb.
2.    Periodisasi sastra atau pembabakan waktu dalam perkembangan sastra.
3.    Perkembangan aliran-aliran yang ada pada suatu periode atau pada suatu angkatan.
4.    Pertumbuhan dan perkembangan gaya bahasa dalam sastra.

MACAM ILMU SASTRA LAIN

1.    SastraUmum
2.    SastraKhusus
3.    SastraPerbandingan

a)    Sastra Umum: ilmu sastra yang membicarakan hal ihwal sastra pada umumnya, terlepas dari masalah-masalah kekhususan dari kehidupan sastra akibat adanya corak bangsa dan bahasa.
b)    Sastra khusus adalah ilmu sastra yang membicarakan kehidupan sastra suatu bangsa atau suatu suku bangsa tertentu, atau sastra dengan suatu media bahasa tertentu.
c)    Sastra perbandingan adalah ilmu sastra yang berusaha menyelidiki adanya persamaan, perbedaan, dan pengaruh dari berbagai hal yang terdapat pada dua atau beberapa sastra tertentu/sastra khusus.

HUBUNGAN TIMBAL BALIK ANTAR CABANG ILMU SASTRA

1.    HUBUNGAN SEJARAH SASTRA DAN TEORI SASTRA

Penyelidikan sejarah sastra memerlukan bahan pengetahuan tentang teori sastra.
Pembicaraan suatu angkatan tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang gaya bahasa, aliran, genre sastra, latar belakang cerita, tema, dsb.
a)    Teori sastra memerlukan bahan-bahan hasil penyelidikan sejarah sastra.
b)    Pembicarann tentang gaya bahasa atau tentang suatu aliran tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sastra secara keseluruhan.
c)    Suatu pengertian tentang teori sastra dimungkinkan mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan data yang diperoleh dari sejarah sastra.

2.    HUBUNGAN SEJARAH SASTRA DAN KRITIK SASTRA

a)    Penelitian sejarah sastra perlu bantuan kritik sastra, tidak semua KS yang terbit dijadikan penelitian sejarah sastra.
b)    Untuk memilih KS yang diteliti sejarah sastra perlu bahan kritik sastra, sebab tugas kritik menentukan nilai suatu KS.
c)    Kritik sastra membutuhkankan bahan sejarah sastra, terutama dalam hal menentukan asli tidaknya sebuah KS atau ada tidaknya unsur pengaruh dari sastra lain.

3.    HUBUNGAN KRITIK SASTRA DAN TEORI SASTRA

a)    Kritik sastra tidak akan berhasil tanpa dilandasi oleh dasar-dasr pengetahuan teori sastra.
b)    Jika akan menganalisis sebuah KS, perlu dasar teori tentang KS tersebut.
c)    Teori sastra merupakan sebagian modal bagi pelaksanaan kritik sastra.
d)    Kritik sastra merupakan pangkal dari teori sastra, teori tanpa data merupakan teori kosong (in vacuo).


UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK KARYA SASTRA

 UNSUR INTRINSIK

Sastra berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti 'tulisan'. Sebelumnya, orang menyebut sastra dengan ungkapan 'susastra'. Su artinya 'indah' atau 'baik', sedangkan sastra berarti 'tulisan' sehingga susastra artinya 'tulisan yang baik'.

Seiring perkembangan zaman, lambat laun morfem su pada susastra menghilang sehingga orang zaman sekarang lebih nyaman menyebutnya dengan sastra saja.
Berbicara tentang sastra, kita akan selalu membicarakan hububungan antara pengarang dengan teks, kenyataan dengan teks, dan teks dengan pembaca.

Berdasarkan hal tersebut, unsur yang menjadi bahan penelitian sastra adalah teks. Namun, tidak semua teks bisa disebut karya sastra.

Definisi karya sastra berkaitan dengan waktu dan budaya karena karya sastra adalah hasil kebudayaan. Di bawah ini akan dijelaskan beberapa faktor yang menyebabkan sebuah teks bisa disebut karya sastra.
  1. Dalam teks sastra ada penanganan bahan yang khusus. Ini tidak hanya berlalu untuk puisi, tetapi juga berlaku untuk prosa dan drama. Misalnya, ada unsur paralelisme, kiasan, metafora, penggunaan bahasa yang tidak gramatikal, sudut pandang, dan lain-lain.
  2. Teks sastra ditandai dengan fiksioanalitas atau cerita rekaan. Pada kenyataannya, banyak juga teks sastra yang barkaitan dengan peristiwa sebenarnya. Namun, hal itu sudah dimanupulasi ketika sudah menjadi teks sastra.
  3. Teks sastra memberi wawasan yang lebih umum tentang masalah kemanusian, sosial, atau inteketual.
  4. Melalui fiksionalitas, pembaca dimungkinkan menginterpretasikan teks sastra sesuai dengan wawasan sendiri. Semakin pembaca itu cerdas dan punya wawasan luas, akan semakin akurat dalam mengapresiasi karya sastra.
  5. Dalam setiap karya sastra, ada ketegangan antara kreativitas dan tradisi. Sering kali pengarang mendobrak batas-batas konvensional tertentu.
  6. Teks sastra kebanyakan tidak disusun untuk tujuan komunikasi langsung dan praktis seperti pada artikel, jurnal, ataupun makalah. Namun, teks sastra selalu mempunyai makna implisit dan makna eksplisit.
Ragam Sastra

Secara garis besar, sastra dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu teks puisi, teks prosa, dan teks drama, meskipun ada beberapa ahli yang menambahkan golongang ke-4 yang disebut prosa lirik.

Teks puisi adalah bentuk sastra dilukiskan dengan menggunakan bahasa yang singkat dan indah. Khusus untuk puisi lama, selalu terikat dengan kaidah tertentu. Kaidah yang dimaksud antara lain sebagai berikut.
  1. Jumlah baris tiap baitnya
  2. Jumlah suku kata.
  3. Irama.
  4. Persamaan bunyi atau ritma.
Contoh puisi lama, pantun, talibun, gurindam, soneta, dan karmina.
Teks prosa adalah bentuk sastra yang dilukiskan dengan bahasa yang bebas dan panjang. Jenis karangan biasanya dibuat dalam bentuk narasi dan deskripsi. Contoh prosa, novel, roman, dan cerpen.

Teks drama adalah bentuk sastra yang dilukiskan dengan mengunakan bahasa yang bebas dan panjang, biasanya menggunakan dialog dan monolog.
Drama terbagi menjadi dua, yaitu drama sebagai teks atau naskah dan drama sebagai pertunjukan atau drama pentas. Meskipun drama pentas itu berasal dari teks, ketika dianalisis harus mengunakan pisau analisis yang berbeda.

Prosa lirik adalah karya sastra dalam bentuk puisi, namun mengunakan karangan narasi dan deskripsi. Jadi, dalam karya ini, puisi tidak dibentuk dari bahasa-bahasa yang padat. Puisi lirik atau prosa lirik dibentuk dengan bahasa yang panjang dan luas dengan metafora yang beragam.

Unsur-unsur Pembangun Karya Sastra

Dalam mengapresiasi karya sastra, tentunya kita tidak boleh sembarangan menginterpretasikan sebuah teks sastra. Kita harus menggunakan pisau analisis yang tepat untuk memaknai sebuah teks sastra. Baik mengunakan analisis semiotik, pragmatik, sosiologi sastra, maupun hermeneutik.

Pertama, yang perlu kita kenali adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra. Ada dua unsur yang membangun sebuah teks sastra yaitu, unsur intrinsik karya sastra dan unsur ekstrinsik karya sastra.

Unsur-unsur Intrinsik
 
Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun teks itu dari dalam. Unsur itu meliputi.
1.  Latar
Latar adalah segala sesuatu yang melingkupi apa yang terdapat dalam cerita, mulai latar tempat, waktu, suasana, dan latar alat.
2.  Alur
Alur adalah suatu rangkain peristiwa yang terjalin secara kausalitas atau sebab akibat dari awal sampai akhir menuju klimaks cerita. Alur terbagi menjadi tiga, yaitu alur maju, alur mundur, dan alur campuran.
3.  Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah peran atau pelaku cerita. Tokoh terbagi menjadi dua. Tokoh bulat adalah tokoh yang digambarkan secara utuh oleh pengarang, biasanya dikategorikan sebagai tokoh utama. Tokoh pipih adalah tokoh yang digambarkan dari satu sisi saja, biasanya dikategorikan sebagai tokoh tambahan.
Penokohan adalah karakter atau watak tokoh dalam cerita, ada peran antagonis, protagonis, tertagonis, atapun melankolis.
4.  Sudut Pandang
Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam cerita. Sudut pandang terbagi atas: 1) orang pertama ditandai dengan kata ganti orang pertama yaitu, aku; dan 2) sudut pandang orang ketiga yang ditandai dengan kata ganti orang ketiga, yaitu dia.
5.  Tema
Tema adalah pokok pikiran pengarang yang menjadi dasar keseluruhan cerita.
6.  Amanat
Amanat adalah pesan moral yang terkandung dalam cerita secara keseluruhan.
7.  Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara pengarang mengukapkan sebuah teks sastra, apakah teks tersebut penuh dengan ironi, sarkasame, atau eufimisme.
Ketujuh unsur intrinsik di atas adalah pisau analisis untuk mengupas teks sastra dalam bentuk prosa atau drama naskah.

UNSUR EKSTRINSIK

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur yang mempengaruhi bagun sebuah cerita. Oleh karena itu, unsur esktrinsik karya sastra harus tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.

Unsur-unsur Ekstrinsik

Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik pun terdiri atas beberapa unsur. Menurut Wellek & Warren (1956), bagian yang termasuk unsur ekstrinsik tersebut adalah sebagai berikut.
  1. Keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya.
  2. Keadaan psikologis, baik psikologis pengarang, psikologis pembaca, maupun penerapan prinsip psikologis dalam karya.
  3. Keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
  4. Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, agama, dan sebagainya.
Latar belakang kehidupan pengarang sebagai bagian dari unsur ekstrinsik sangat mempengaruhi karya sastra. Misalnya, pengarang yang berlatar belakang budaya daerah tertentu, secara disadari atau tidak, akan memasukkan unsur budaya tersebut ke dalam karya sastra.

Menurut Malinowski, yang termasuk unsur budaya adalah bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Unsur-usnru tersebut menjadi pendukung karya sastra. Sebagai contoh, novel Siti Nurbaya sangat kental dengan budaya Minangkabau. Hal ini sesuai dengan latar belakang pengarangnya, Marah Rusli, yang berasal dari daerah Minangkabau. Begitu pula novel Upacara karya Korrie Layun Rampan yang dilatarbelakangi budaya Dayak Kalimantan karena pengarangnya berasal dari daerah Kalimantan.

Begitu pula dalam Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, kita akan menemukan unsur intrinsik berupa nilai-nilai budaya. Terutama, yang berkaitan dengan sistem mata pencaharian, sistem teknologi, religi, dan kesenian. Mata pencaharian yang ditekuni para tokoh dalam novel tersebut sebagai pencari damar dan rotan di hutan. Alat yang digunakan masih tradisional. 

Selain budaya, latar belakang keagamaan atau religiusitas pengarang juga dapat memengaruhi karya sastra. Misalnya, Achdiat Kartamihardja dalam novel Atheis dan Manifesto Khalifatullah, Danarto dalam novel Kubah, atau Habiburahman El-Shirazi dalam Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih.

Latar belakang kehidupan pengarang juga menjadi penting dalam memengaruhi karya sastra. Sastrawan yang hidup di perdesaan akan selalu menggambarkan kehidupan masyarakat desa dengan segala permasalahannya. Misalnya, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Dengan demikian, unsur ekstrinsik tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan karya sastra. Unsur ekatrinsik memberikan warna dan rasa terhadap karya sastra yang pada akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai makna. Unsur-unsur ektrinsik yang mempengaruhi karya dapat juga dijadikan potret realitas objektif pada saat karya tersebut lahir. Sehingga, kita sebagai pembaca dapat memahami keadaan masyarakat dan suasana psikologis pengarang pada saat itu.


Top of Form
Bottom of Form

KRITIK SASTRA

PENGERTIAN KRITIK SASTRA   
        
            Istilah ”kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ”hakim”. Krites sendiri berasal dari krinein ”menghakimi”; kriterion yang berarti ”dasar penghakiman” dan kritikos berarti ”hakim kasustraan”.[1]
            Kritik sastra dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan analisis, penafsiran, dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni.[2]
      Abrams dalam Pengkajian sastra (2005: 57) mendeskripsikan bahwa kritik sastra merupakan cabang ilmu yang berurusan dengan perumusan, klasifikasi, penerangan, dan penilaian karya sastra. 

            Pengertian kritik sastra di atas tidaklah mutlak ketetapannya, karena sampai saat ini, belum ada kesepakatan secara universal tentang pengertian sastra. Namun, pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan atau perbuatan mencari serta menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan kritikus dalam bentuk tertulis.
      Membaca secara mendalam keberagaman pengertian sastra yang tersuguh dari beberapa sumber yang diberikan sebagai tugas pemenuhan mata kuliah Naqd Adabi, terdapat sebuah gambaran dalam benak penulis, muncul sebuah matrikulasi wilayah sastra, yang sangat mudah untuk dihafalkan, dipahami dan dimengerti, sebagaimana  berikut:
A.   Ilmu Sastra
B.   Teori Sastra                
C.   Sejarah Sastra             
D.   Kritik sasra

1.      Teori sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan:
a.       pengertian-pengertian dasar tentang sastra,
b.      hakekat sastra,
c.       prinsip-prinsip sastra,
d.      latar belakang, jenis-jenis sastra, dan
e.       susunan dalam karya sastra dan prinsip-prinsip tentang penilaian sastra.
2.      Sejarah Sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan;
a.       membicarakan tentang perkembangan sastra,
b.      ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangan karya sastra tersbut,
c.       situasi sosial masyarakat dan idologi yang semuanya,
3.      Kritik sastra yang dalam eksistnsinya sendiri turut serta membicarakan;
a.       analisis,
b.      interpretasi, dan
c.       menilai karya sastra.
­            Ketiganya memiliki hubungan yang erat dan saling mengait. Sebagaimana teori sastra yang sudah pasti membutuhkan kerja sama dengan sejarah sastra. Sejarah satra yang tidak bisa dipisahkan dari teori dan kritik sastra, begitu juga dengan kritik sastra yang membutuhkan adanya teori dan sejaarah sastra.[3]
            Apabila diperhatikan hal di atas, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan bahwa sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami, dihayati, ditafsirkan dan dinilai secara sempurna tanpa adanya itervensi dari ketiga bidang ilmu sastra tersebut. Sebuah teori sastra tidak akan pernah sempurna jika tidak dibantu oleh sejarah dan kritik sastra; begitu juga dengan sejarah sastra yang tidak dapat dipaparkan, jika teori dan kritik sastra tidak jelas; dan kritik sastra tidak akan mencapai sasaran, apabila teori dan sejarah sastra tidak dijadikan tumpuan.
            Analisis merupakan hal yang sangat penting dalam kritik sastra. Sebagaimana Jassin dalam Pengkajian Sastra menjelaskan bahwa kritik sastra ialah baik buruknya suatu hasil kasustraan dengan memberi alasan-alasan mengenai isi dan bentuknya.[4]
            Dengan demikian, kritik sastra adalah kegiatan penilaian yang ditunjukkan pada karya sastra atau teks. Namun, melihat kenyataan bahwa setiap karya sastra adalah hasil karya yang diciptakan pengarang, maka kritik sastra mencakup masalah hubungan sastra dengan kemanusiaan. Namun, sasaran utama kritik sastra adalah karya sastra atau teks tersebut dan makna bagi krtikus tersebut, bukan pada pengarangnya.[5] Seorang kritikus sastra mengungkapkan pesan dalam satu bentuk verbal dengan bentuk verbal yang lain, mencoba menemukan pengalaman estetis persepsi tentang realitas yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pengamatannya terhadap cara penggunaan bahasa, terhadap kode-kode bahasa yang digunakan.
            Dalam hal ini, tampak adanya hubungan antara liguistik dengan kritik sastra. Dimana bagi seorang linguistik, kode itu sendiri dan cara kode dibangun didalam teks yang menjadi perhatian utamanya. Baginya makna itu penting jika dapat menjelaskan bagaimana kode-kode itu dibentuk.
            Panuti Sudjiman mendeskripsikan bahwa stilistika yang merupakan bagian dari linguistik, memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama bahasa dalam kesusastraan,  memiliki peran penting karena stilistika dianggap menjembatani kritik sastra di satu pihak dan linguistik dipihak lain.  Hubungan tersebut tercipta karena:
1.      Stilistika mengkaji atau melakukan kritik terhadap karya sastra (di pihak lain).
2.      Stilistika mengkaji wacana sastra dengan oreintasi linguistik.
3.      Stilistika mengkaji cara sastrawan dalam menggunakan unsur dan kaidah bahasa serta efek yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu.
4.      Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri yang membedakannya dengan wacana nonsastra, dan
5.      Stilistika meneliti deviasi dan distorsi terhadap pemakaian bahasa yang normal (dengan metode kontras) dan berusaha menemukan tujuan estetisnya sebagai sarana literer. Dengan kata lain, stilistika meneliti fungsi puitik bahasa.
            Ia menambahkan bahwa hubugan kritik sastra dengan analisis stilistika bukan berarti berperpretensi menggantikan kritik sastra. Justru sebaliknya, kritik sastra tidak berpretensi menggantikan kritik sastra serta membuka jalan untuk kritik sastra yang efektif. Pengkajian stilistik tidak bermaksud mematikan intuisi karya sastra. Analisis stilistik justru berusaha menggantikan subjektivitas dan inpresionisme yang digunakan oleh kritikus sastra sebagai pedoman dalam mengkaji karya sastra dengan suatu pengkajian yang relatif lebih obyektif dan ilmiah[6]
            Jelaslah, bawa stilistika berupaya menujukkan bagaimana unsur-unsur suatu teks berkombinasi membentuk suatu pesan dan menemukan ciri yang benar-benar memberikan efek tertentu kepada pembaca (pendengar), tidak sekedar menghitung frekuensi penggunaan sarana-sarana stilistik dalam suatu karya sastra
B.  Aktivitas Kritik Sastra
            Dari pengertian kritik sastra di atas, terkandung secara jelas aktivitas kritik sastra. Secara rinci. Aktivitas kritik sastra mencakup 3 (tiga) hal, yaitu menganalisis, menafsirkan, dan menilai.
            Analisis adalah menguraikan unsur-unsur yang membangun karya sastra dan menarik hubungan antar unsur-unsur tersebut. Sementara menafsirkan (interpretasi) dapat diartikan sebagai memperjelas/memperjernih maksud karya sastra dengan cara: (a) memusatkan interpretasi kepada ambiguitas, kias, atau kegelapan dalam karya sastra, (b). memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis karya sastra. Seorang kritikus yang baik tidak lantas terpukau terhadap apa yang sedang dinikati atau dihayatinya, tetapi dengan kemampuan rasionalnya seorang kritikus harus mampu membuat penafsiran-penfsiran sehingga karya sastra itu datang secara utuh.[7]
            Jan Van Luxmburk dkk. dalam Pengkajian Sastra (2005: 58-59) membedakan enam jenis pokok penafsiran sebagaimana berikut:
1.      penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat bahwa teks sudah jelas.
2.      penafsiran yang berusaha  untuk meyusun kembali arti historik.
3.      penafsiran heurmenetik, yaitu keahlian mnginterpretasi karya sastra yang berusaha memperpadukan masa lalu dan masa kini.
4.      tafsiran-tafsiran dengan sadar disusun dengan bertitik tolak pada pandangannya  sendiri mengenai sastra
5.      tafsiran-tafsiran yang bertitik pangkal pada sutu problematik  tertentu, misalnya permasalahan psikologi atau sosiologi
6.      tafsiran yang tidak langsung berusaha agar secara memadai sbuah teks diartikan. Pendekatan yang berkiblat pada pembaca disebut estetika-represif. Jika teks yang brsangkutan tidak untuk atau mempunyai versi yang berbeda, trlebih dahulu hrus dilakukan penafsiran filologis.
            Adapun aktivitas yang ketiga yaitu penilaian. Penilaian dapat diartikan menunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang dianut/dipakai/dipahami seorang kritikus.
C.  Fungsi Kritik Sastra
            Dalam mengkritik karya sastra, seorang kitikus tidaklah bertindak semaunya. Ia harus melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana pengarang dalam melahirkan karya sastra. Karena kritik sastra sebagai kegiatan ilmiah yang mengikat kita pada asas-asas keilmuan yang ditandai oleh adanya kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis dan objek empiris.[8]
            Setidaknya, ada beberapa manfaat kritik sastra yang perlu untuk kita ketahui, sebagaimana berikut;
  • Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan sastra
Dalam mengkritik, seeorang kritikus akan menunjukkan hal-hal yang bernilai atau tidak bernilai dari suatu karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan hal-hal yang baru dalam karya sastra, hal-hal apa saja yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian, sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkan kecakapannya dan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas karya sastranya. Jika sastrawan-sastrawan mampu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif, dan berbobot, maka perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas maupun kuantitas. Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan meningkatkan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada akhirnya akan meningkatkan perkembangan sastra itu sendiri.
  • Kritik sastra berfungsi untuk penerangan bagi penikmat sastra
Dalam melakukan kritik, kritikus akan memberikan ulasan, komentar, menafsirkan kerumitan-kerumitan, kegelapan-kegelapan makna dalam karya sastra yang dikritik. Dengan demikian, pembaca awam akan mudah memahami karya sastra yang dikritik oleh kritikus.
­Di sisi lain, ketika masyarakat sudah terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra akan semakin baik. Masyarakat dapat memilih karya sastra yang bermutu tinggi (karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperhalus moral, mempertajam pikiran, kemanusiaan, kebenaran dll).
  • Kritik sastra berfungsi bagi ilmu sastra itu sendiri
Analisis yang dulakukan kritikus dalam mengkritik harus didasarkan pada referensi-referensi dan teori-teori yang akurat. Tidak jarang pula, perkembangan teori sastra lebih lambat dibandingkan dengan kemajuan proses kreatif pengarang. Untuk itu, dalam melakukan kritik, kritikus seringkali harus meramu teori-teori baru. Teori-teori sastra baru yang seperti inilah yang justru akan mengembangkan ilmu sastra itu sendiri, dimana seorang pengarang akan dapat belajar melalui kritik sastra dalam memperluas pandangannya, sehingga akan berdampak pada meningkatnya  kualitas karya sastra.
            Fungsi kritik sastra di atas akan menjadi kenyataan karena adanya tanggung jawab antara kritikus dan sastrawan serta tanggungjawab mereka dalam memanfaatkan kritik sastra tersebut.
            Dengan demikian, tidak perlu diragukan bahwa adanya kritik yang kuat serta jujur di medan sastra akan membawa pada meningkatnya kualitas karya sastra. Karena sastrawan akan memiliki perhitungan sebelum akhirnya dipublikasikannya karya sastra tersebut. Oleh sebab itu, ketiadaaan kritik pada medan sastra akan membawa pada munculnya karya-karya sastra yang picisan.
            Raminah Baribin menambahkan, bahwasanya tidak semua kritik sastra dapat menjelaskan fungsinya, oleh sebab itu kritik sastra harus memiliki tanggung jawab atas tugasnya serta mampu membuktikan bahwa dengan adanya kritik yang dilakukan oleh kritikus mampu memberikan sumbangan yang berharga terhadap pembinaan dan pengembangan sastra. Karnanya kritik sastra berfungsi apabila;
1)      disusun atas dasar untuk meningkatkan dan membangun sastra,
2)      melakukan kritik secara objektif, menggunakan pendekatan dan metode yang jelas, agar dapat dipertangungjawabkan
3)      mampu memperbaiki cara berpikir, cara hidup, dan cara bekerja sastrawan,
4)      dapat menyesuikan diri dengan ruang lingkup kebudayaan dan tata nilai yang berlaku, dan
5)      dapat membimbing pembaca untuk berpikir kritis dan dapat meningkatkan apresiasi sastra masyarakat.
D.  Esai Sastra
            Esai adalah karangan pendek mengenai suatu masalah yang kebetulan menarik perhatian untuk diselidiki dan dibahas. Pengarang mengemukakan pendiriannya, pikirannya, cita-citanya, atau sikapnya terhadap suatu persoalan yang disajikan. Dengan kata lain, esai sastra adalah karang pendek yang merupakan laporan hasil eksplorasi penulis tentang karya atau beberapa karya sastara yang sifatnya lebih banyak menekankan sensasi dan kekaguman penelaah tentang hasil hasil bacaannya atau hasil belajarnya.
            Arief Budiman dalam Kritik dan Penilaian (1993: 10) menarik pengertian esai sebagai karangan yang sedang panjangnya, yang membahas persoalan secara mudah dan sepintas lalu dalam bentuk prosa.
            Esai sastra sebagai bagian dari kritik sastra yang mempunyai ciri dan karakteristik sendiri. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat membedakan yang mana kritik dan yang mana esai sastra ketika disuatu waktu kita membutuhkan referensi untuk kepentingan penelitian ataupun penambah wawasan dalam mengasah karya esai kita. dalam hal ini esai sastra hanya bersifat mengemukakan masalah atau persoalan kepada khalayak ramai, dan bagaimana penelesaian tersebut terarah kepada pembaca. Sedangkan kritik sastra adalah penilaian terhadap suatu karya sastra melalui proses dengan menggunakan kriteria tertentu.[9] 
            Kiranya seperti itu, sedikit uraian yang mampu penulis sajikan. Namun jauh dari itu smua penulis masih menyadari, akan adanya kesalahan. Oleh karena itu, segala konstruktif untuk kesempurnaan ini, akan senantiasa penulis sambut dan selalu penulis harapkan.
”Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. (QS. Hud: 88)

Sabtu, 25 Desember 2010

Macam-Macam Bentuk,Aliran dan Krtik Sastra


BENTUK KARYA SASTRA

1. PROSA 

Prosa adalah karangan bebas (tidak terikat sajak, rima, baris). Dalam khasanah sastra Indonesia dikenal dua macam kelompok karya sastra menurut temanya, yakni karya sastra lama dan karya sastra baru. Hal itu juga berlaku bagi karya sastra bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra prosa lama dan karya sastra prosa baru. 

Prosa Lama 

Prosa lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Dalam hubungannya dengan kesusastraan Indonesia maka objek pembicaraan sastra lama ialah sastra prosa daerah Melayu yang mendapat pengaruh barat. Hal ini disebabkan oleh hubungannya yang sangat erat dengan sastra Indonesia. Karya sastra prosa lama yang mula- mula timbul disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal tulisan. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia mulai ada.

Bentuk-Bentuk Sastra Prosa Lama
  1. Mite adalah dongeng yang banyak mengandung unsur-unsur ajaib dan ditokohi oleh dewa, roh halus, atau peri. Contoh Nyi Roro Kidul
  2. Legenda adalah dongeng yang dihubungkan dengan terjadinya suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, SI Malin Kundang
  3. Fabel adalah dongeng yang pelaku utamanya adalah binatang. Contoh: Kancil
  4. Hikayat adalah suatu bentuk prosa lama yang ceritanya berisi kehidupan raja-raja dan sekitarnya serta kehidupan para dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah Hikayat, Si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan.
  5. Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Contoh: Cerita Pak Belalang.
  6. Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam
Ciri-Ciri Prosa Lama
  1. Cenderung bersifat stastis, sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat.  
  2.  Istanasentris ( ceritanya sekitar kerajaan, istana, keluarga raja, bersifat feodal).
  3. Hampir seluruhnya berbentuk hikayat, tambo atau dongeng. Pembaca dibawa ke dalam khayal dan fantasi
  4. Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan Arab.  
  5.  Ceritanya sering bersifat anonim (tanpa nama)  
  6.  Milik bersama
Prosa Baru 

Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa baru timbul sejak pengaruh Pers masuk ke Indonesia yakni sekitar permulaan abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima karangan G. Fransis, Siti mariah karangan H. Moekti. 

Ciri-Ciri Prosa Baru
  1. Prosa baru bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat) Masyarakatnya sentris ( cerita mengambil bahan dari kehidupan masyarakat sehari-hari) Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah, drama. 
  2. Berjejak di dunia yang nyata,berdasarkan kebenaran dan kenyataan
  3. Dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
  4. Dipengaruhi siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan jelas
  5. Tertulis
Jenis-Jenis Prosa
  1. Roman adalah cerita yang mengisahkan pelaku utama dari kecil sampai mati,mengungkap adat/aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail/menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Contoh: karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam  
  2.  Cerpen adalah jenis prosa yang berisi cerita sebuah peristiwa kehidupan sang pelaku pada suatu saat, yang tidak memungkinkan adanya digresi. Pertikaian yang terjadi tidak menimbulkan perubahan nasib pelaku.
  3. Antologi adalah buku yang berisi kumpulan karya terplih beberapa orang. Contoh Laut Biru Langit Biru karya Ayip Rosyidi
  4. Kisah adalah riwayat perjalana seseorang yang berarti cerita rentetan kejadian kemudian mendapat perluasan makna sehingga dapat juga berarti cerita. Contoh: Melawat ke Jabar – Adinegoro, Catatan di Sumatera – M. Rajab.
  5. Novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dan kehidupan orang-orang. Contoh: Roromendut karangan YB.Mangunwijaya. 

2. PUISI


Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah
baris serta ditandai oleh bahasa yang padat.

Unsur-Unsur Puisi 
  1. Tema adalah tentang apa puisi itu berbicara
  2. Amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada pembaca
  3. Rima adalah persamaan-persamaan bunyi
  4. Ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang teratur
  5. Metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang dibentuk oleh persamaan jumlah kata/suku tiap baris
  6. Majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi ekspresi
  7. Kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih, haru, mencekam,berapi-api, dll.) 
  8. Diksi adalah pilihan kata/ungkapan
  9. Tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi
Puisi di bagi menjadi dua yaitu:

Puisi Lama

1.    Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
2.    Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan
3.    Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.

Bentuk-Bentuk Puisi Lama
  1. Pantun merupakan puisi Indonesia asli. Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran,baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka
  2. Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
  3. Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek. 
  4.  Seloka adalah pantun berkait.
  5. Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a,berisi nasihat.  
  6. Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris,bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
  7. Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.
Puisi Baru

Puisi baru masuk dalam kesusasteraan Indonesia sebagai akibat pengaruh kebudayaan bangsa Eropa yang menjajah bangsa Indonesia. Puisi ini sangat berbeda dengan yang dikenal bangsa Indonesia. Puisi baru populer di tahun 1930, yakni pada masa Pujangga Baru.

Berdasarkan jumlah lariknya puisi baru dibedakan menjadi : 
  1. Distikon adalah bentuk puisi yang tiap baitnya terdiri atas dua baris.
  2. Tersina adalah puisi baru yang terdiri atas yiga baris setiap baitnya
  3. Kuatren adalah bentuk puisi baru yang terdiri atas empat baris dalam setiap baitnya. 
  4. Kuint adalah bentuk puisi baru yang terdiri atas lima baris setiap baitnya. 
  5. Septime adalah bentuk puisi baru yang tiap baitnya terdiri atas tujuh baris.
  6. Stanza adalah bentuk puisi baru yang terdiri atas delapan baris dalam setiap baitnya.  
  7. Soneta, puisi yang berasal dari Italia ini merupakan bentuk puisi baru yang memiliki ciri: terdiri atas empat belas baris; dengan susunan dua kuatren dan dua tersina;bagian dua kuatren berupa sampiran dan bagian sekstet merupakan bagian isi; bersajak a-b-b-a, c-d-c-, d-c-d.
Puisi Modern 

Berbeda dengan puisi lama atau puisi baru yang masih terikat oleh aturan jumlah baris atau irama, puisi modern merupakan bentuk puisi yang benar-benar bebas. Puisi modern lebih mengutamakan isi, bentuk tidak dipentingkan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila ada puisi modern yang hanya berisi beberapa kata atau satu kalimat saja. 

Berdasarkan isinya, puisi modern meliputi:
  1. Balada adalah puisi yang berisi cerita.
  2. Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan kasih sayang terhadap kekasih.
  3. Elegi adalah puisi ungkapan rasa duka atau sedih, karena kematian.
  4. Ode adalah puisi yang bertema mulia, berciri nada dan gaya yang resmi dan bersifat menyanjung. Puisi ini dapat menlukiskan peristiwa yang menyangkut kehidupan pribadi. Puisi ini merupakan puisiyang berisi puji-pujian terhadap Sang Pencipta atau sesuatu yang dimuliakan seperti pahlawan bangsa.
  5. Satire adalah bentuk karya sastra yang berupa puisi biasa atau puisi naratif yang berisi kritikan atau sindirian dan cemoohan terhadap masalah-maslah sosial. 

3. DRAMA

Drama atau film merupakan karya yang terdiri atas aspek sastra dan asepk pementasan. Aspek sastra drama berupa naskah drama, dan aspek sastra film berupa skenario. Unsur instrinsik keduanya terdiri dari tema,amanat/pesan,plot/alur,perwatakan/karakterisasi, konflik, dialog, tata artistik (make up, lighting, busana, properti, tata panggung, aktor, sutradara, busana, tata suara, penonton), casting (penentuan peran), dan akting (peragaan gerak para 
pemain). 

ALIRAN-ALIRAN KARYA SASTRA

1.    Realisme 

Realisme adalah aliran dalam kesusastraan yang melukiskan suatu keadaan atau
kenyataan secara sesungguhnya. Para tokoh aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni
adalah untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan subjektif. 


Pengarang realis melukiskan orang-orangnya dengan perasaan-perasaan dan
pikiran-pikirannya sampai sekecil-kecilnya, dengan tidak memihak memberi simpati
atau antipati. Pengarang sendiri berada di luar, ia sebagai penonton yang objektif.


Kenyataan-kenyataan itu tidak boleh ditafsirkan secara berlebihan seperti kaum
romantik. Itu sebabnya karya-karya realis banyak yang berkisar pada golongan
masyarakat bawah seperti kaum tani, buruh, gelandangan, pelacur dan sebagainya.

2.    Naturalisme 

Karya naturalisme sebenarnya merupakan lanjutan dari realisme. Jika realisme
menyajikan kejadian yang nyata daam kehidupan sehari-hari, naturalisme cenderung
melukiskan kenyataan tampa memilih dan memilahnya. Persamaan dengan realisme
adalah sama-sama melukiskan realitas dengan terperinci dan teliti namun
perbedaannya pada seleksi materi.

3.     Impresionisme 

Impresionisme adalah pelahiran kembali kesan kesan sang penyair atau pengarang terhadap sesuatu yang dilihatnya. Pengarang takkan melukiskan sampai mendetail, sampai yang sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme. 

4.    Ekspresionisme 

Aliran kesusasteraan ekspresionisme merupakan gambaran dunia batin, imaji tentang sesuatu yang dipikirkan. Dalam ekspresionisme ini, pengarang menyatakan sikap jiwanya, emosinya, tanggapan subyektifnya tentang masalah manusia, ketuhanan, kemanusiaan. Dalam sajak, misalnya, penyair tidak mengungkapkan kisah, tetapi ia langsung berteriak, menyatakan curahan hatinya. 

5.  Absurdisme

Aliran sastra ini munyuguhkan pada ketidakjelasan kenyataan. Pada dasarnya, yang dihadirkan adalah realitas manusia tetapi selalu hal-khal yang irasonal, tidak masuk akal. Mengapa demikian? Karena bentuk sastra absurdisme ini memberi ruang yang terbuka bagi para apresiator untuk memberi tafsiran masing-masing dan semuanya dikembakiakan kepada pembaca. Aliran absurdisme dapat kita temui dalam karangan Putu Wijaya, Sitor Situmorang, Budi Darmadan Iwan Simatupang. 

6.  Romantisme 

Romantisme adalah aliran kesenian kesusasteraan yang mengutamakan perasaan. Oleh karena itu, romantisme bisa dikatakan aliran yang mementingkan penggunaan bahasa yang indah.dan bisa mengharukan. 

7.    Determinisme 

Determinisme merupakan aliran kesusasteraan yang menekankan pada takdir.dalam
determinisme ini, Takdir ditentukan oleh unsur-unsur biologis dan lingkungan bukan
oleh sesuatu yang gaib seperti, Tuhan, Dewa-dewi. Penganut aliran determinisme
berangkat dari paham materialisme dan tidak percaya bahwa tuhanlah yang
menakdirkan demikian. Akan tetapi, takdir itu diakibatkan oleh sifat biolgis dari
orangtua dan linkungan keadaan masyarakat. TokohYah dalam Belen ggu,Atheis,Neraka Dunia, Katak Hendak Menjadi Lembu dan Pada Sebuah Kapal adalah beberapa contoh determinisme. 

8.    Idealisme 

Idealisme merupakan cabang dari aliran romantik. Rahasia alam semesta dan misteri kehidupan , dalam realisme dan naturalisme mengandalkan pada realitas. Sebaliknya, idealisme menekankan pada ide atau cita-cita. Aliran idealisme adalah aliran romantik yang mendasarkan citanya pada cita-cita si peniulis atau pada pengarangnya semata. Pengarang idealisme memandang jauh ke masa yang akan datang, dengan segala kemungkinannya yang sangat diharapkan akan terjadi. Pada dasarnya, idealisme ini mirip ramalan. Pengarang mirip tukang ramal yang menujumkan sesuatu, dan sesuatu itu adalah ide atau cita-citanya sendiri. Pengarang merasa yakin bahwa fantasinya mampu direfleksikan ke dalam realitas, sebagaimana tokohTuti dalam Layar terkembang, Siti Nurbaya, Katak Hendak Menjadi Lembu,Pertemuan Jodoh. 

9.    Satirisme 

Karya sastra yang dimaksudkan untuk menimmbulkan cemooh, nista, atau perasaan muak terhadap penyalahgunaan dan kebodohan manusia serta pranata; tujuannya untuk mengoreksi penyelewengan dengan jalan mencetuskan kemarahan dan tawa bercampur dengan kecaman dan ketajaman. Beberapa cerita pendek Budi Darma misalnya “ Kecap Nomor Satu di Sekeiling Bayi”, dan A.A Navis dalam kumpulan cerita pendeknya“Robohnya Surau Kami” mrupakan bentuk dari contoh karya sastra aliran absurdisme di Indonesia. 

10. Lokalisme 

Adalah istilah lain untuk jenis cerita lokal. Karya sastra ini menggambarkan corak atau ciri khas suatu masa atau daerah tertentu serta pemakainan bahasa atau kata kata daerah yang bersangkutan, dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik atau keasliannya tampak. Sikap dan lingkungan tokoh juga ikut mendukung corak setempat.Sejumlah fiksi para pengarang yang berasal dari Sumatera Barat merupakan karya warna lokal yang kuat di zaman Balai Pustaka.

Nama Marah Rusli dan Abdul Muis yang kemudian disusul dengan B Nurdin Jakub, A.A Navis, Chairul Harun merupakan para pengarang yang membawa corak khas warna lokal dari Sumatera Barat. I Gusti Panji Tisn, Putu Arya Tirtaewirya, Faisal Baraas merupakan pengarang yang memperlihatkan corak warna local Bali Lombok. Warna Lokal ini merupakan genre yang berkembang bersama genre sastra lainnya sebab sesungguhnya di dalam cerita-cerita yang berwarna lokal muncul juga aliran-aliran lainnya. 

11. Didaktikisme 

Corak didakitisme merupakan salah satu bentuk sastra bertendens, yaitu karya sastra yang ditulis dengan maksud tertentu. Yang diutamakan dalam aliran ini adalah bagaimana pengarang menyakinkan pembacanya sehingga pembaca itu mampu mengambil teladan dan makna dari karya sastra itu. Pada zaman Angkatan Balai Pustaka para pengarang menyajikan bentuk karangan yang menentang adat dan tradisi. Adat dan tradisi kawin paksa itu lebih banyak membawa dampak negatif daripada positif. mereka ini menulis cerita-cerita yang menentang adat, seperti Abdul Muis, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, A.A Navis, Chairul Harun ,Darman Moenir dan Harris Effendi Thahar. 

12. Atavisme 

Atavisme merupaka suatu ciri bila pengarang atau sastrawan menampikan kembali bentuk dan unsur sastra lama di dalam karyanya. Seperti penggunaan pantun, atau mantra. 

13. Eksistensialisme 

Eksistensialisme adalah aliran di dalam kesusasteraan yang mula-mula dikenal dalam dunia filsafat. Pada dasarnya aliran eksistensialisme ini menganut paham bahwa manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan ditentukan oleh faktor luar diri, seperti Tuhan, nasib, masyarakat dan keturunan. Eksistensialisme karya sastra yang menegaskan bahwa pembentukan sifat tabiat manusia adalah tanggung jawabnya sendiri. Dalam arya sastra ini gaya bahasa yang khas bukannah sesuatu yang terpenting. Yang terpenting adalah pandangan pengarang tentang kehidupan dan keberadaan manusia. 

14. Detektivisme 

Cerita detektif merupakan genre fiksi yang menekankan cerita pada misteri dan teka teki serta ketegangan. Karya ini mengungkapkan sebuah misteri melalui kumpulan dan tafsiran isyarat-isyarat tertentu. Hukum yang lazimnya berlaku dalam cerita detektif adalah bahwa isyarat-isyarat yang menuju penyelesaian harus diungkapkan tepat ketika sang detektif menemukan isyarat-syarat tersebut. Di Indonesia bentuk cerita detektif dimulai dari Suman Hs,. yang menulis beberapa cerita detektif panjang seperti, Kasih tak tarlarai, Percobaan Setia, Mencari pencuri Anak Perawan, Kasih tersesat dan sebagainya.

15. Popularisme 

Cerita Populer merupakan salah satu jenis fiksi yang paling banyak dibaca dan digemari oleh para pebaca karena sifat utamanya memberi hiburan. Cerita popular ini sering disebut cerita picisan. Cerita picisan ini bila ditinjau dari sudut seni sastra tidak bermutu karena pada umumnya memperlihatkan corak suatu usaha tidak kearah kepentingan mencari uang belaka. Namun jenis bacaan popular ini menjadi kesukaan para pembaca karena sifatnya yang ringan dan gampang dicerna. 

16. Tragedisme 
 
Cerita tragedisme melukiskan pertentangan daintara protagonis dengan kekuatan yang luar biasa, yang berakhir dengan keputusasaan atau kehancuran sang protaginis. . karangan dramatik sering berbentuk sajak, bertema serius dan seih, yang tokoh utamanya menemui kehancuran karena suatu kelemahan seperti keangkuhan atau iri hati. Bentuk karya tragedi lebih merupakan bencana yang dialami para tokoh cerita seperti halnya tokoh-toko cerita Tohs Mohtar, Motinggo Busye, Bur Rasuanto dan sebagainya. 

17. Ironis- Sarkasme 

Karya sastra beraliran ini pemakaiannya untuk mencemooh yang bersangkutan
dengan kontras dari apa yang sebenarnya.

18. Eksotisisme 

Karya sastra yang menunjukkan cirri-ciri eksotisme adalah yang bersangkut paut dengan latar, tokoh, dan peristiwa yang mengasyikan, mempesona, dan asing. Dengan kata lain, eksotisime menunjukkan suatu cirri khas yang sangat spesifik daam penampilan setting, dimana setting yang dipih terasa aneh dan asing bagi pembaca. 

19. Futurisme 

Aliran dalam sastra yang menganjurkan agar neninggalkan segala bentuk ekspresi gaya baru, bentuk baru, pokok baru dengan menekankan pentingnya pengganmbaran kecepatan, kekuatan dankekerasan. Menurut kaum futuris, karya sastra hendaknya menyesuaikan diri dengan zaman modern yang bergerak cepat. 

KRITIK SASTRA

1.    Kritik Sastra Pada Zaman Balai Pustaka

Kegiatan kritik sastra Indonesia baru dimulai pada periode Balai Pustaka. Yang menulis kritik sastra pada waktu itu adalah para sastrawan. Di samping menulis karya sastra, mereka terkadang juga menulis kritik sastra. Adapun yang boleh dikatakan kritik sastra pertama ialah terkenal dengan nama Nota Rinkes, yakni Nota over de Vlkslectuur pada zaman Balai Pustaka (tahun 1920-an) yanh memuat aturan-aturan untuk buku yang diterbitkan oleh balai pustaka. 

Nota rinkes dapat dikatakan sebagai kritik sastra karena menjadi pedoman penulisan karya sastra yang antara lain berisi aturan tentang keharusan bersikap netral terhadap agama, memperhatikan syarat-syarat budi pekerti yang baik, menjaga ketertiban dan tidak boleh berpolitik melawan pemerintah sesuai dengan Politik Balas Budi. Oleh Karena itu, teori kritik sastra ini merupakan kritik normatif dan pragmatik. Hasilnya kelihatan dalam roman yang diterbitkan oleh balai pustaka, yaitu roman yang berorientasi pragmatik (memiliki tujuan tertentu) untuk memajukan dan mendidik rakyat untuk bebudi pekerti yang baik dan taat pada pemerintah. Di luar Balai pustaka, pada zaman itu ada juga penulisan kritik sastra yang meskipun sederhana oleh Mohammad Yamin. Kritik tersebut merupakan kritik sastra Indonesia yang pertama walaupun mengkritik karya sastra lama. 

2.    Kritik Sastra Pada Zaman Pujangga Baru

Kritik Sastra zaman Pujangga Baru memiliki beberapa kritikus yang
berorientasi pada ekspresif dan romantik. Para kritikus tersebut adalah Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sutan Syahrir dan J.E. Tatenkeng. Mereka menetujui
adanya konsep sastra ‘ seni untuk seni’ (l’ art pour l’art). 

Sebagai kritikus sastrawan pujangga baru, Armijn Pane mengungkapakan bahwa, dalam kesusasteraan yang terpenting adalah isi dari karya sastra. Sementara rupa dan bentuk hanya sebagai penarik perhatian. Ia menambahkan, bila hasil karya sastra seorang pengarang dikritik, iut menjadi ukuran pengarangnya sendiri, karena dialah cermin masyarakat dan zamannya. 

Kritikus pujangga baru lainnya yaitu , J.E Tatenkeng juga berorientasi yang sama, ekspresif. Selain itu, Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh kritikus yang produktif pada zaman itu, menambahkan bahwa tujuan sastra adalah untuk membangun bangsa. Serta karya sastra harus mengandung optimisme perjuangan , semangat jangan sampai ada karya satra lembek, yang hanya akan melemahkan pembaca (masyarakat). 

Sedangkan Sutan Syahrir, agak berbeda dengan Takdir, ia lebih mengarahkan kesusasteraan Indonesia kearah kiri sosialis-politis. Yaitu pragmatik sektoral, bukan pragmatik nasional. Namun keduanya memiliki kesamaan,yaitu sastra untuk pendidikan dan bertendens.
W.J.S Poerwadaminta mengatakan bahwa sastrawan Pujangga Baru,
berorientasi ekspresif karena mendasarkan karya sastra sebagai curahan perasaan,
pikiran, jiwa sastrawan dan gerak sukma sebagai pertimbangan dan gerak intrepertasi.

3.    Kritik Sastra Pada Periode Angkatan 45’

Dalam periode ini, kritik sastra berupa esai dan terapan kritik. Dan di antara para kritikus zaman ini, HB Jassin muncul sebagai kritikus yang paling menonjol. Aliran sastra realisme, naturalisme dengan gaya ekspresionalisme adalah aliran yang terkenal pada zaman ini. Kritik sastra beraliran realisme dan naturalisme dilaksanakan pertama kali oleh HB Jassin pada periode ini sebagai suatu teori kritik. 

Pada saat itu juga timbul paham individualisme dan humanisme universal. Paham individualisme baru tampak dalam karya ‘Aku’ Chairil anwar sastrawan angkatan 45. Dan sajak itu kemudian menjadi lambang individulisme angkatan ’45. 

4.    Teori Sastra Kelompok Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) 

Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950 atas inisiatif para tokoh PKI , antara lain
Aidit, Nyoto, Henk Ngantung, A.S. sehingga tak heran jika corak Lekra adalah komunistis. Para seniman dan simpatisannya menganut paham realisme sosialis yang berkonsep ‘seni untuk rakyat’ dan menolak ‘seni untuk seni’ konsep dari zaman pujangga baru. Saat itu tokoh sastrawan Lekra Pramoedya Ananta Toer mempertentangkan realisme sosialis dengan realisme barat meskipun tidak tampak jelas perbedaan antara keduanya. Iaa juga menjelaskan sastra, politik dan filsafat itu tidak dapt dipisahkan. Akan tetapi, intinya seluruhnya selalu bernapaskan perlawanan terhadap segala yang berbau ‘humanisme Borjuis’ dan untuk memenangkan ‘humanisme proletar’. Dan jelaslah kritik sastra Lekra bertipe juga pragmatik

5.    Teori Kritik Sastra Revolusioner

Teori Kritik Sastra Revolusioner adalah varian dari Teori Lekra. Teori ini
berkembang pada saat Dekrit Presiden Juli 1959 dan berpusat pada gagasanSitor
Situmorang dalam bukunya Sastra Revolusioner yang mengatakan bahwa teori revolusioner berorientasi pragmatik. Menurut Sitor, untuk mengambil peran dalam revolusi serta mendapat isi revolusionernya, tradisi sastra perjuangan masa lalu harus dibangkitkan, untuk mencapai sastra nasional dan bukan sastra internasional yang diindonesiakan. Karena sesungguhnya sastra adalah milik rakyat tidak ada kelas-kelas dalam sastra. Pada hakikatnya teori lekra dan reviolusioner sama, teori pragmatik yang mengarahkan sasarannya pada penulisan sastra bagi tujuan politik.
 
6.    Teori Kritik Sastra Akademik 

Pada sekitar pertengahan tahun 1950-an timbul kritik sastra corak baru, yaitu kritik sastra akademik. Disebut demikian karena kritik sastra ini ditulis oleh kritikus dari kampus universitas dan mendominasi kurun waktu 1950-1988. Kritik akademik ini berlangsung dari tahun 1956-1975. Munculnya corak kritik baru ini menimbulkan reaksi sampai akhirnya timbul perdebatan. Dan kemudian periode ini cepat berakhir. 
7.    Teori Kritik Sastra Periode 1956-1975

Dari kelompok sastrawan, teori kritik sastra dalam periode ini diwakili oleh
Rustandi Kartakusumah, Harijadi S. Hrtowardoyodan Ajib Rosidi.
Rustandi Kartakusumah mengatakan kunci selera sastra adalah pengajaran. 

Pengajaran di kuliah sastra, mempengaruhi penciptaan sastra dan akhirnya mempengaruhi selera sastra di Indonesia. Adapun jenis kritik sastranya adalah judisial, atau memberi penilaian. 

Berbeda dengan Rustandi,Harijadi menyatakan membaca adalah menggali hikmahnya. Atau, menemukan diri penyair dalam karangannya.kritik sastra harus mampu menyelidiki sampai mana penyair dapat mengungkapkan isi hatinya. 

Kritik Ajib Rosidi adalah kritik judisial. Ia mengemukakan bahwa untuk memahami karya sastra seseorang, diperlukan pembicaraan dan penelitian latar belakang sosio-budaya pengarang. 

R.H Lome dalam kritik sastra, ia melakukan pendekatan objektif, bersifat induktif dan mimetik. Sedangkan Umar Junus mengemukakan teori penciptaan, yaitu teoripenilaian yang intinya menyatakan bahwa suatu ciptaan harus bisa menimbulkan emosi pembaca. Atau juga bisa dikenal dengan teori induktif.

Kritik Subagyo Sastrowardoyo termasuk dalam kelompok kritik ilmiah. Tugas sastra adalah mengorganisasikan dunia seni menjadi dunia pemikiran. Kesusasteraan tidak terpisah dari penilaian, dan dalam penilaian, subaqgyo menggunakan kriteria estetik.

Aliran Rawamangun adalah kelompok sastra dari Univ. Indonesia yang lahir di
daerah Rawamangun. Diprakarsai oleh M.S Hutagalung tahun 1975. dasar kritik
aliran ini adalah teori objektif.

8.    Teori kritik Sastra Periode 1976-1988 

Pada tahun 1980-an teori sastra dan kritik sastra Barat yang bermacam coraknya itu diterapkan di Indonesia oleh para sastrawan dan akademik. Seperti kritik sastra teori semiotik, kritik sastra kontekstual, realisme sosialis. Teori sastra yang dirasakan kurang sesuai dengan karya sastra Indonesia yang bercorak latar budayanya sendiri oleh sastrawan Indonesia dilakukan penyaringan. Para tokoh kritikus pada periode ini adalahKorrie Layun Rampan, Budi Darma, Pamusuk Eneste. 

9.    Teori Kritik Sastra Indonesia/Nusantara Lama/Kuno

Banyak bemunculan kajian dan kritik sastra Indonesia / Nusantara Lama/ Kuna yang menerapkan teori sastra Barat sekirtar tahun 1980-an. Beberapa mahasiswa mengedisikannya seprti naskah bali, Babad Buleleng oleh P.J Wrsley, Hikayat Sri Ramaoleh Univ Indonesia, Hikayat Hang Tuahdari Fakultas sastra UGM, Kakawin Gajah Mada oleh Univ. Padjajaran, disertsi Merong Mahawangsa berbahasa Melayu Kuno, dan disertasi Hikayat Iskandar Zulkarnaen olehUGM. 

Demikianlah bukti bahwa teori modern Barat bisa di adaptasi hingga kritik sastra
Nusantara Lama.










KumpulBlogger

Template by:

Free Blog Templates