BENTUK KARYA SASTRA
1. PROSA
Prosa adalah karangan bebas (tidak terikat sajak, rima, baris). Dalam khasanah sastra Indonesia dikenal dua macam kelompok karya sastra menurut temanya, yakni karya sastra lama dan karya sastra baru. Hal itu juga berlaku bagi karya sastra bentuk prosa. Jadi, ada karya sastra prosa lama dan karya sastra prosa baru.
Prosa Lama
Prosa lama adalah karya sastra daerah yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat. Dalam hubungannya dengan kesusastraan Indonesia maka objek pembicaraan sastra lama ialah sastra prosa daerah Melayu yang mendapat pengaruh barat. Hal ini disebabkan oleh hubungannya yang sangat erat dengan sastra Indonesia. Karya sastra prosa lama yang mula- mula timbul disampaikan secara lisan. Disebabkan karena belum dikenalnya bentuk tulisan. Dikenal bentuk tulisan setelah agama dan kebudayaan Islam masuk ke Indonesia, masyarakat Melayu mengenal tulisan. Sejak itulah sastra tulisan mulai dikenal dan sejak itu pulalah babak-babak sastra pertama dalam rentetan sejarah sastra Indonesia mulai ada.
Bentuk-Bentuk Sastra Prosa Lama
- Mite adalah dongeng yang banyak mengandung unsur-unsur ajaib dan ditokohi oleh dewa, roh halus, atau peri. Contoh Nyi Roro Kidul
- Legenda adalah dongeng yang dihubungkan dengan terjadinya suatu tempat. Contoh: Sangkuriang, SI Malin Kundang
- Fabel adalah dongeng yang pelaku utamanya adalah binatang. Contoh: Kancil
- Hikayat adalah suatu bentuk prosa lama yang ceritanya berisi kehidupan raja-raja dan sekitarnya serta kehidupan para dewa. Contoh: Hikayat Hang Tuah Hikayat, Si Miskin, Hikayat Indra Bangsawan.
- Dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal. Contoh: Cerita Pak Belalang.
- Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya terdapat cerita lagi yang dituturkan oleh pelaku-pelakunya. Contoh: Seribu Satu Malam
Ciri-Ciri Prosa Lama
- Cenderung bersifat stastis, sesuai dengan keadaan masyarakat lama yang mengalami perubahan secara lambat.
- Istanasentris ( ceritanya sekitar kerajaan, istana, keluarga raja, bersifat feodal).
- Hampir seluruhnya berbentuk hikayat, tambo atau dongeng. Pembaca dibawa ke dalam khayal dan fantasi
- Dipengaruhi oleh kesusastraan Hindu dan Arab.
- Ceritanya sering bersifat anonim (tanpa nama)
- Milik bersama
Prosa Baru
Prosa baru adalah karangan prosa yang timbul setelah mendapat pengaruh sastra atau budaya Barat. Prosa baru timbul sejak pengaruh Pers masuk ke Indonesia yakni sekitar permulaan abad ke-20. Contoh: Nyai Dasima karangan G. Fransis, Siti mariah karangan H. Moekti.
Ciri-Ciri Prosa Baru
- Prosa baru bersifat dinamis (senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat) Masyarakatnya sentris ( cerita mengambil bahan dari kehidupan masyarakat sehari-hari) Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah, drama.
- Berjejak di dunia yang nyata,berdasarkan kebenaran dan kenyataan
- Dipengaruhi oleh kesusastraan Barat
- Dipengaruhi siapa pengarangnya karena dinyatakan dengan jelas
- Tertulis
Jenis-Jenis Prosa
- Roman adalah cerita yang mengisahkan pelaku utama dari kecil sampai mati,mengungkap adat/aspek kehidupan suatu masyarakat secara mendetail/menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi (pelanturan). Roman terbentuk dari pengembangan atas seluruh segi kehidupan pelaku dalam cerita tersebut. Contoh: karangan Sutan Takdir Alisjahbana: Kalah dan Manang, Grota Azzura, Layar Terkembang, dan Dian yang Tak Kunjung Padam
- Cerpen adalah jenis prosa yang berisi cerita sebuah peristiwa kehidupan sang pelaku pada suatu saat, yang tidak memungkinkan adanya digresi. Pertikaian yang terjadi tidak menimbulkan perubahan nasib pelaku.
- Antologi adalah buku yang berisi kumpulan karya terplih beberapa orang. Contoh Laut Biru Langit Biru karya Ayip Rosyidi
- Kisah adalah riwayat perjalana seseorang yang berarti cerita rentetan kejadian kemudian mendapat perluasan makna sehingga dapat juga berarti cerita. Contoh: Melawat ke Jabar – Adinegoro, Catatan di Sumatera – M. Rajab.
- Novel adalah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dan kehidupan orang-orang. Contoh: Roromendut karangan YB.Mangunwijaya.
2. PUISI
Puisi adalah bentuk karangan yang terkikat oleh rima, ritma, ataupun jumlah
baris serta ditandai oleh bahasa yang padat.
Unsur-Unsur Puisi
- Tema adalah tentang apa puisi itu berbicara
- Amanat adalah apa yang dinasihatkan kepada pembaca
- Rima adalah persamaan-persamaan bunyi
- Ritma adalah perhentian-perhentian/tekanan-tekanan yang teratur
- Metrum/irama adalah turun naik lagu secara beraturan yang dibentuk oleh persamaan jumlah kata/suku tiap baris
- Majas/gaya bahasa adalah permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi ekspresi
- Kesan adalah perasaan yang diungkapkan lewat puisi (sedih, haru, mencekam,berapi-api, dll.)
- Diksi adalah pilihan kata/ungkapan
- Tipografi adalah perwajahan/bentuk puisi
Puisi di bagi menjadi dua yaitu:
Puisi Lama
1. Merupakan puisi rakyat yang tak dikenal nama pengarangnya.
2. Disampaikan lewat mulut ke mulut, jadi merupakan sastra lisan
3. Sangat terikat oleh aturan-aturan seperti jumlah baris tiap bait, jumlah suku kata maupun rima.
Bentuk-Bentuk Puisi Lama
- Pantun merupakan puisi Indonesia asli. Pantun adalah puisi yang bercirikan bersajak a-b-a-b, tiap bait 4 baris, tiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, 2 baris awal sebagai sampiran,baris berikutnya sebagai isi. Pembagian pantun menurut isinya terdiri dari pantun anak, muda-mudi, agama/nasihat, teka-teki, jenaka
- Mantra adalah ucapan-ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
- Karmina adalah pantun kilat seperti pantun tetapi pendek.
- Seloka adalah pantun berkait.
- Gurindam adalah puisi yang berdirikan tiap bait 2 baris, bersajak a-a-a-a,berisi nasihat.
- Syair adalah puisi yang bersumber dari Arab dengan ciri tiap bait 4 baris,bersajak a-a-a-a, berisi nasihat atau cerita.
- Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri dari 6, 8, ataupun 10 baris.
Puisi Baru
Puisi baru masuk dalam kesusasteraan Indonesia sebagai akibat pengaruh kebudayaan bangsa Eropa yang menjajah bangsa Indonesia. Puisi ini sangat berbeda dengan yang dikenal bangsa Indonesia. Puisi baru populer di tahun 1930, yakni pada masa Pujangga Baru.
Berdasarkan jumlah lariknya puisi baru dibedakan menjadi :
- Distikon adalah bentuk puisi yang tiap baitnya terdiri atas dua baris.
- Tersina adalah puisi baru yang terdiri atas yiga baris setiap baitnya
- Kuatren adalah bentuk puisi baru yang terdiri atas empat baris dalam setiap baitnya.
- Kuint adalah bentuk puisi baru yang terdiri atas lima baris setiap baitnya.
- Septime adalah bentuk puisi baru yang tiap baitnya terdiri atas tujuh baris.
- Stanza adalah bentuk puisi baru yang terdiri atas delapan baris dalam setiap baitnya.
- Soneta, puisi yang berasal dari Italia ini merupakan bentuk puisi baru yang memiliki ciri: terdiri atas empat belas baris; dengan susunan dua kuatren dan dua tersina;bagian dua kuatren berupa sampiran dan bagian sekstet merupakan bagian isi; bersajak a-b-b-a, c-d-c-, d-c-d.
Puisi Modern
Berbeda dengan puisi lama atau puisi baru yang masih terikat oleh aturan jumlah baris atau irama, puisi modern merupakan bentuk puisi yang benar-benar bebas. Puisi modern lebih mengutamakan isi, bentuk tidak dipentingkan. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila ada puisi modern yang hanya berisi beberapa kata atau satu kalimat saja.
Berdasarkan isinya, puisi modern meliputi:
- Balada adalah puisi yang berisi cerita.
- Romance adalah puisi yang berisi luapan perasaan kasih sayang terhadap kekasih.
- Elegi adalah puisi ungkapan rasa duka atau sedih, karena kematian.
- Ode adalah puisi yang bertema mulia, berciri nada dan gaya yang resmi dan bersifat menyanjung. Puisi ini dapat menlukiskan peristiwa yang menyangkut kehidupan pribadi. Puisi ini merupakan puisiyang berisi puji-pujian terhadap Sang Pencipta atau sesuatu yang dimuliakan seperti pahlawan bangsa.
- Satire adalah bentuk karya sastra yang berupa puisi biasa atau puisi naratif yang berisi kritikan atau sindirian dan cemoohan terhadap masalah-maslah sosial.
3. DRAMA
Drama atau film merupakan karya yang terdiri atas aspek sastra dan asepk pementasan. Aspek sastra drama berupa naskah drama, dan aspek sastra film berupa skenario. Unsur instrinsik keduanya terdiri dari tema,amanat/pesan,plot/alur,perwatakan/karakterisasi, konflik, dialog, tata artistik (make up, lighting, busana, properti, tata panggung, aktor, sutradara, busana, tata suara, penonton), casting (penentuan peran), dan akting (peragaan gerak para
pemain).
ALIRAN-ALIRAN KARYA SASTRA
1. Realisme
Realisme adalah aliran dalam kesusastraan yang melukiskan suatu keadaan atau
kenyataan secara sesungguhnya. Para tokoh aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni
adalah untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan subjektif.
Pengarang realis melukiskan orang-orangnya dengan perasaan-perasaan dan
pikiran-pikirannya sampai sekecil-kecilnya, dengan tidak memihak memberi simpati
atau antipati. Pengarang sendiri berada di luar, ia sebagai penonton yang objektif.
Kenyataan-kenyataan itu tidak boleh ditafsirkan secara berlebihan seperti kaum
romantik. Itu sebabnya karya-karya realis banyak yang berkisar pada golongan
masyarakat bawah seperti kaum tani, buruh, gelandangan, pelacur dan sebagainya.
kenyataan secara sesungguhnya. Para tokoh aliran ini berpendapat bahwa tujuan seni
adalah untuk menggambarkan kehidupan dengan kejujuran yang sempurna dan subjektif.
Pengarang realis melukiskan orang-orangnya dengan perasaan-perasaan dan
pikiran-pikirannya sampai sekecil-kecilnya, dengan tidak memihak memberi simpati
atau antipati. Pengarang sendiri berada di luar, ia sebagai penonton yang objektif.
Kenyataan-kenyataan itu tidak boleh ditafsirkan secara berlebihan seperti kaum
romantik. Itu sebabnya karya-karya realis banyak yang berkisar pada golongan
masyarakat bawah seperti kaum tani, buruh, gelandangan, pelacur dan sebagainya.
2. Naturalisme
Karya naturalisme sebenarnya merupakan lanjutan dari realisme. Jika realisme
menyajikan kejadian yang nyata daam kehidupan sehari-hari, naturalisme cenderung
melukiskan kenyataan tampa memilih dan memilahnya. Persamaan dengan realisme
adalah sama-sama melukiskan realitas dengan terperinci dan teliti namun
perbedaannya pada seleksi materi.
menyajikan kejadian yang nyata daam kehidupan sehari-hari, naturalisme cenderung
melukiskan kenyataan tampa memilih dan memilahnya. Persamaan dengan realisme
adalah sama-sama melukiskan realitas dengan terperinci dan teliti namun
perbedaannya pada seleksi materi.
3. Impresionisme
Impresionisme adalah pelahiran kembali kesan kesan sang penyair atau pengarang terhadap sesuatu yang dilihatnya. Pengarang takkan melukiskan sampai mendetail, sampai yang sekecil-kecilnya seperti dalam aliran realisme atau naturalisme.
4. Ekspresionisme
Aliran kesusasteraan ekspresionisme merupakan gambaran dunia batin, imaji tentang sesuatu yang dipikirkan. Dalam ekspresionisme ini, pengarang menyatakan sikap jiwanya, emosinya, tanggapan subyektifnya tentang masalah manusia, ketuhanan, kemanusiaan. Dalam sajak, misalnya, penyair tidak mengungkapkan kisah, tetapi ia langsung berteriak, menyatakan curahan hatinya.
5. Absurdisme
Aliran sastra ini munyuguhkan pada ketidakjelasan kenyataan. Pada dasarnya, yang dihadirkan adalah realitas manusia tetapi selalu hal-khal yang irasonal, tidak masuk akal. Mengapa demikian? Karena bentuk sastra absurdisme ini memberi ruang yang terbuka bagi para apresiator untuk memberi tafsiran masing-masing dan semuanya dikembakiakan kepada pembaca. Aliran absurdisme dapat kita temui dalam karangan Putu Wijaya, Sitor Situmorang, Budi Darmadan Iwan Simatupang.
6. Romantisme
Romantisme adalah aliran kesenian kesusasteraan yang mengutamakan perasaan. Oleh karena itu, romantisme bisa dikatakan aliran yang mementingkan penggunaan bahasa yang indah.dan bisa mengharukan.
7. Determinisme
Determinisme merupakan aliran kesusasteraan yang menekankan pada takdir.dalam
determinisme ini, Takdir ditentukan oleh unsur-unsur biologis dan lingkungan bukan
oleh sesuatu yang gaib seperti, Tuhan, Dewa-dewi. Penganut aliran determinisme
berangkat dari paham materialisme dan tidak percaya bahwa tuhanlah yang
menakdirkan demikian. Akan tetapi, takdir itu diakibatkan oleh sifat biolgis dari
orangtua dan linkungan keadaan masyarakat. TokohYah dalam Belen ggu,Atheis,Neraka Dunia, Katak Hendak Menjadi Lembu dan Pada Sebuah Kapal adalah beberapa contoh determinisme.
determinisme ini, Takdir ditentukan oleh unsur-unsur biologis dan lingkungan bukan
oleh sesuatu yang gaib seperti, Tuhan, Dewa-dewi. Penganut aliran determinisme
berangkat dari paham materialisme dan tidak percaya bahwa tuhanlah yang
menakdirkan demikian. Akan tetapi, takdir itu diakibatkan oleh sifat biolgis dari
orangtua dan linkungan keadaan masyarakat. TokohYah dalam Belen ggu,Atheis,Neraka Dunia, Katak Hendak Menjadi Lembu dan Pada Sebuah Kapal adalah beberapa contoh determinisme.
8. Idealisme
Idealisme merupakan cabang dari aliran romantik. Rahasia alam semesta dan misteri kehidupan , dalam realisme dan naturalisme mengandalkan pada realitas. Sebaliknya, idealisme menekankan pada ide atau cita-cita. Aliran idealisme adalah aliran romantik yang mendasarkan citanya pada cita-cita si peniulis atau pada pengarangnya semata. Pengarang idealisme memandang jauh ke masa yang akan datang, dengan segala kemungkinannya yang sangat diharapkan akan terjadi. Pada dasarnya, idealisme ini mirip ramalan. Pengarang mirip tukang ramal yang menujumkan sesuatu, dan sesuatu itu adalah ide atau cita-citanya sendiri. Pengarang merasa yakin bahwa fantasinya mampu direfleksikan ke dalam realitas, sebagaimana tokohTuti dalam Layar terkembang, Siti Nurbaya, Katak Hendak Menjadi Lembu,Pertemuan Jodoh.
9. Satirisme
Karya sastra yang dimaksudkan untuk menimmbulkan cemooh, nista, atau perasaan muak terhadap penyalahgunaan dan kebodohan manusia serta pranata; tujuannya untuk mengoreksi penyelewengan dengan jalan mencetuskan kemarahan dan tawa bercampur dengan kecaman dan ketajaman. Beberapa cerita pendek Budi Darma misalnya “ Kecap Nomor Satu di Sekeiling Bayi”, dan A.A Navis dalam kumpulan cerita pendeknya“Robohnya Surau Kami” mrupakan bentuk dari contoh karya sastra aliran absurdisme di Indonesia.
10. Lokalisme
Adalah istilah lain untuk jenis cerita lokal. Karya sastra ini menggambarkan corak atau ciri khas suatu masa atau daerah tertentu serta pemakainan bahasa atau kata kata daerah yang bersangkutan, dengan tujuan kisahan menjadi lebih menarik atau keasliannya tampak. Sikap dan lingkungan tokoh juga ikut mendukung corak setempat.Sejumlah fiksi para pengarang yang berasal dari Sumatera Barat merupakan karya warna lokal yang kuat di zaman Balai Pustaka.
Nama Marah Rusli dan Abdul Muis yang kemudian disusul dengan B Nurdin Jakub, A.A Navis, Chairul Harun merupakan para pengarang yang membawa corak khas warna lokal dari Sumatera Barat. I Gusti Panji Tisn, Putu Arya Tirtaewirya, Faisal Baraas merupakan pengarang yang memperlihatkan corak warna local Bali Lombok. Warna Lokal ini merupakan genre yang berkembang bersama genre sastra lainnya sebab sesungguhnya di dalam cerita-cerita yang berwarna lokal muncul juga aliran-aliran lainnya.
Nama Marah Rusli dan Abdul Muis yang kemudian disusul dengan B Nurdin Jakub, A.A Navis, Chairul Harun merupakan para pengarang yang membawa corak khas warna lokal dari Sumatera Barat. I Gusti Panji Tisn, Putu Arya Tirtaewirya, Faisal Baraas merupakan pengarang yang memperlihatkan corak warna local Bali Lombok. Warna Lokal ini merupakan genre yang berkembang bersama genre sastra lainnya sebab sesungguhnya di dalam cerita-cerita yang berwarna lokal muncul juga aliran-aliran lainnya.
11. Didaktikisme
Corak didakitisme merupakan salah satu bentuk sastra bertendens, yaitu karya sastra yang ditulis dengan maksud tertentu. Yang diutamakan dalam aliran ini adalah bagaimana pengarang menyakinkan pembacanya sehingga pembaca itu mampu mengambil teladan dan makna dari karya sastra itu. Pada zaman Angkatan Balai Pustaka para pengarang menyajikan bentuk karangan yang menentang adat dan tradisi. Adat dan tradisi kawin paksa itu lebih banyak membawa dampak negatif daripada positif. mereka ini menulis cerita-cerita yang menentang adat, seperti Abdul Muis, Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, A.A Navis, Chairul Harun ,Darman Moenir dan Harris Effendi Thahar.
12. Atavisme
Atavisme merupaka suatu ciri bila pengarang atau sastrawan menampikan kembali bentuk dan unsur sastra lama di dalam karyanya. Seperti penggunaan pantun, atau mantra.
13. Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran di dalam kesusasteraan yang mula-mula dikenal dalam dunia filsafat. Pada dasarnya aliran eksistensialisme ini menganut paham bahwa manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan ditentukan oleh faktor luar diri, seperti Tuhan, nasib, masyarakat dan keturunan. Eksistensialisme karya sastra yang menegaskan bahwa pembentukan sifat tabiat manusia adalah tanggung jawabnya sendiri. Dalam arya sastra ini gaya bahasa yang khas bukannah sesuatu yang terpenting. Yang terpenting adalah pandangan pengarang tentang kehidupan dan keberadaan manusia.
14. Detektivisme
Cerita detektif merupakan genre fiksi yang menekankan cerita pada misteri dan teka teki serta ketegangan. Karya ini mengungkapkan sebuah misteri melalui kumpulan dan tafsiran isyarat-isyarat tertentu. Hukum yang lazimnya berlaku dalam cerita detektif adalah bahwa isyarat-isyarat yang menuju penyelesaian harus diungkapkan tepat ketika sang detektif menemukan isyarat-syarat tersebut. Di Indonesia bentuk cerita detektif dimulai dari Suman Hs,. yang menulis beberapa cerita detektif panjang seperti, Kasih tak tarlarai, Percobaan Setia, Mencari pencuri Anak Perawan, Kasih tersesat dan sebagainya.
15. Popularisme
Cerita Populer merupakan salah satu jenis fiksi yang paling banyak dibaca dan digemari oleh para pebaca karena sifat utamanya memberi hiburan. Cerita popular ini sering disebut cerita picisan. Cerita picisan ini bila ditinjau dari sudut seni sastra tidak bermutu karena pada umumnya memperlihatkan corak suatu usaha tidak kearah kepentingan mencari uang belaka. Namun jenis bacaan popular ini menjadi kesukaan para pembaca karena sifatnya yang ringan dan gampang dicerna.
16. Tragedisme
Cerita tragedisme melukiskan pertentangan daintara protagonis dengan kekuatan yang luar biasa, yang berakhir dengan keputusasaan atau kehancuran sang protaginis. . karangan dramatik sering berbentuk sajak, bertema serius dan seih, yang tokoh utamanya menemui kehancuran karena suatu kelemahan seperti keangkuhan atau iri hati. Bentuk karya tragedi lebih merupakan bencana yang dialami para tokoh cerita seperti halnya tokoh-toko cerita Tohs Mohtar, Motinggo Busye, Bur Rasuanto dan sebagainya.
17. Ironis- Sarkasme
Karya sastra beraliran ini pemakaiannya untuk mencemooh yang bersangkutan
dengan kontras dari apa yang sebenarnya.
18. Eksotisisme
Karya sastra yang menunjukkan cirri-ciri eksotisme adalah yang bersangkut paut dengan latar, tokoh, dan peristiwa yang mengasyikan, mempesona, dan asing. Dengan kata lain, eksotisime menunjukkan suatu cirri khas yang sangat spesifik daam penampilan setting, dimana setting yang dipih terasa aneh dan asing bagi pembaca.
19. Futurisme
Aliran dalam sastra yang menganjurkan agar neninggalkan segala bentuk ekspresi gaya baru, bentuk baru, pokok baru dengan menekankan pentingnya pengganmbaran kecepatan, kekuatan dankekerasan. Menurut kaum futuris, karya sastra hendaknya menyesuaikan diri dengan zaman modern yang bergerak cepat.
KRITIK SASTRA
1. Kritik Sastra Pada Zaman Balai Pustaka
Kegiatan kritik sastra Indonesia baru dimulai pada periode Balai Pustaka. Yang menulis kritik sastra pada waktu itu adalah para sastrawan. Di samping menulis karya sastra, mereka terkadang juga menulis kritik sastra. Adapun yang boleh dikatakan kritik sastra pertama ialah terkenal dengan nama Nota Rinkes, yakni Nota over de Vlkslectuur pada zaman Balai Pustaka (tahun 1920-an) yanh memuat aturan-aturan untuk buku yang diterbitkan oleh balai pustaka.
Nota rinkes dapat dikatakan sebagai kritik sastra karena menjadi pedoman penulisan karya sastra yang antara lain berisi aturan tentang keharusan bersikap netral terhadap agama, memperhatikan syarat-syarat budi pekerti yang baik, menjaga ketertiban dan tidak boleh berpolitik melawan pemerintah sesuai dengan Politik Balas Budi. Oleh Karena itu, teori kritik sastra ini merupakan kritik normatif dan pragmatik. Hasilnya kelihatan dalam roman yang diterbitkan oleh balai pustaka, yaitu roman yang berorientasi pragmatik (memiliki tujuan tertentu) untuk memajukan dan mendidik rakyat untuk bebudi pekerti yang baik dan taat pada pemerintah. Di luar Balai pustaka, pada zaman itu ada juga penulisan kritik sastra yang meskipun sederhana oleh Mohammad Yamin. Kritik tersebut merupakan kritik sastra Indonesia yang pertama walaupun mengkritik karya sastra lama.
2. Kritik Sastra Pada Zaman Pujangga Baru
Kritik Sastra zaman Pujangga Baru memiliki beberapa kritikus yang
berorientasi pada ekspresif dan romantik. Para kritikus tersebut adalah Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, Sutan Syahrir dan J.E. Tatenkeng. Mereka menetujui
adanya konsep sastra ‘ seni untuk seni’ (l’ art pour l’art).
Sebagai kritikus sastrawan pujangga baru, Armijn Pane mengungkapakan bahwa, dalam kesusasteraan yang terpenting adalah isi dari karya sastra. Sementara rupa dan bentuk hanya sebagai penarik perhatian. Ia menambahkan, bila hasil karya sastra seorang pengarang dikritik, iut menjadi ukuran pengarangnya sendiri, karena dialah cermin masyarakat dan zamannya.
Kritikus pujangga baru lainnya yaitu , J.E Tatenkeng juga berorientasi yang sama, ekspresif. Selain itu, Sutan Takdir Alisyahbana, tokoh kritikus yang produktif pada zaman itu, menambahkan bahwa tujuan sastra adalah untuk membangun bangsa. Serta karya sastra harus mengandung optimisme perjuangan , semangat jangan sampai ada karya satra lembek, yang hanya akan melemahkan pembaca (masyarakat).
Sedangkan Sutan Syahrir, agak berbeda dengan Takdir, ia lebih mengarahkan kesusasteraan Indonesia kearah kiri sosialis-politis. Yaitu pragmatik sektoral, bukan pragmatik nasional. Namun keduanya memiliki kesamaan,yaitu sastra untuk pendidikan dan bertendens.
W.J.S Poerwadaminta mengatakan bahwa sastrawan Pujangga Baru,
berorientasi ekspresif karena mendasarkan karya sastra sebagai curahan perasaan,
pikiran, jiwa sastrawan dan gerak sukma sebagai pertimbangan dan gerak intrepertasi.
3. Kritik Sastra Pada Periode Angkatan 45’
Dalam periode ini, kritik sastra berupa esai dan terapan kritik. Dan di antara para kritikus zaman ini, HB Jassin muncul sebagai kritikus yang paling menonjol. Aliran sastra realisme, naturalisme dengan gaya ekspresionalisme adalah aliran yang terkenal pada zaman ini. Kritik sastra beraliran realisme dan naturalisme dilaksanakan pertama kali oleh HB Jassin pada periode ini sebagai suatu teori kritik.
Pada saat itu juga timbul paham individualisme dan humanisme universal. Paham individualisme baru tampak dalam karya ‘Aku’ Chairil anwar sastrawan angkatan 45. Dan sajak itu kemudian menjadi lambang individulisme angkatan ’45.
4. Teori Sastra Kelompok Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
Lekra didirikan pada 17 Agustus 1950 atas inisiatif para tokoh PKI , antara lain
Aidit, Nyoto, Henk Ngantung, A.S. sehingga tak heran jika corak Lekra adalah komunistis. Para seniman dan simpatisannya menganut paham realisme sosialis yang berkonsep ‘seni untuk rakyat’ dan menolak ‘seni untuk seni’ konsep dari zaman pujangga baru. Saat itu tokoh sastrawan Lekra Pramoedya Ananta Toer mempertentangkan realisme sosialis dengan realisme barat meskipun tidak tampak jelas perbedaan antara keduanya. Iaa juga menjelaskan sastra, politik dan filsafat itu tidak dapt dipisahkan. Akan tetapi, intinya seluruhnya selalu bernapaskan perlawanan terhadap segala yang berbau ‘humanisme Borjuis’ dan untuk memenangkan ‘humanisme proletar’. Dan jelaslah kritik sastra Lekra bertipe juga pragmatik
5. Teori Kritik Sastra Revolusioner
Teori Kritik Sastra Revolusioner adalah varian dari Teori Lekra. Teori ini
berkembang pada saat Dekrit Presiden Juli 1959 dan berpusat pada gagasanSitor
Situmorang dalam bukunya Sastra Revolusioner yang mengatakan bahwa teori revolusioner berorientasi pragmatik. Menurut Sitor, untuk mengambil peran dalam revolusi serta mendapat isi revolusionernya, tradisi sastra perjuangan masa lalu harus dibangkitkan, untuk mencapai sastra nasional dan bukan sastra internasional yang diindonesiakan. Karena sesungguhnya sastra adalah milik rakyat tidak ada kelas-kelas dalam sastra. Pada hakikatnya teori lekra dan reviolusioner sama, teori pragmatik yang mengarahkan sasarannya pada penulisan sastra bagi tujuan politik.
6. Teori Kritik Sastra Akademik
Pada sekitar pertengahan tahun 1950-an timbul kritik sastra corak baru, yaitu kritik sastra akademik. Disebut demikian karena kritik sastra ini ditulis oleh kritikus dari kampus universitas dan mendominasi kurun waktu 1950-1988. Kritik akademik ini berlangsung dari tahun 1956-1975. Munculnya corak kritik baru ini menimbulkan reaksi sampai akhirnya timbul perdebatan. Dan kemudian periode ini cepat berakhir.
7. Teori Kritik Sastra Periode 1956-1975
Dari kelompok sastrawan, teori kritik sastra dalam periode ini diwakili oleh
Rustandi Kartakusumah, Harijadi S. Hrtowardoyodan Ajib Rosidi.
Rustandi Kartakusumah mengatakan kunci selera sastra adalah pengajaran.
Pengajaran di kuliah sastra, mempengaruhi penciptaan sastra dan akhirnya mempengaruhi selera sastra di Indonesia. Adapun jenis kritik sastranya adalah judisial, atau memberi penilaian.
Berbeda dengan Rustandi,Harijadi menyatakan membaca adalah menggali hikmahnya. Atau, menemukan diri penyair dalam karangannya.kritik sastra harus mampu menyelidiki sampai mana penyair dapat mengungkapkan isi hatinya.
Kritik Ajib Rosidi adalah kritik judisial. Ia mengemukakan bahwa untuk memahami karya sastra seseorang, diperlukan pembicaraan dan penelitian latar belakang sosio-budaya pengarang.
R.H Lome dalam kritik sastra, ia melakukan pendekatan objektif, bersifat induktif dan mimetik. Sedangkan Umar Junus mengemukakan teori penciptaan, yaitu teoripenilaian yang intinya menyatakan bahwa suatu ciptaan harus bisa menimbulkan emosi pembaca. Atau juga bisa dikenal dengan teori induktif.
Kritik Subagyo Sastrowardoyo termasuk dalam kelompok kritik ilmiah. Tugas sastra adalah mengorganisasikan dunia seni menjadi dunia pemikiran. Kesusasteraan tidak terpisah dari penilaian, dan dalam penilaian, subaqgyo menggunakan kriteria estetik.
Aliran Rawamangun adalah kelompok sastra dari Univ. Indonesia yang lahir di
daerah Rawamangun. Diprakarsai oleh M.S Hutagalung tahun 1975. dasar kritik
aliran ini adalah teori objektif.
8. Teori kritik Sastra Periode 1976-1988
Pada tahun 1980-an teori sastra dan kritik sastra Barat yang bermacam coraknya itu diterapkan di Indonesia oleh para sastrawan dan akademik. Seperti kritik sastra teori semiotik, kritik sastra kontekstual, realisme sosialis. Teori sastra yang dirasakan kurang sesuai dengan karya sastra Indonesia yang bercorak latar budayanya sendiri oleh sastrawan Indonesia dilakukan penyaringan. Para tokoh kritikus pada periode ini adalahKorrie Layun Rampan, Budi Darma, Pamusuk Eneste.
9. Teori Kritik Sastra Indonesia/Nusantara Lama/Kuno
Banyak bemunculan kajian dan kritik sastra Indonesia / Nusantara Lama/ Kuna yang menerapkan teori sastra Barat sekirtar tahun 1980-an. Beberapa mahasiswa mengedisikannya seprti naskah bali, Babad Buleleng oleh P.J Wrsley, Hikayat Sri Ramaoleh Univ Indonesia, Hikayat Hang Tuahdari Fakultas sastra UGM, Kakawin Gajah Mada oleh Univ. Padjajaran, disertsi Merong Mahawangsa berbahasa Melayu Kuno, dan disertasi Hikayat Iskandar Zulkarnaen olehUGM.
Demikianlah bukti bahwa teori modern Barat bisa di adaptasi hingga kritik sastra
Nusantara Lama.
2 komentar:
thankz bro buat tulisanx.........ijin copas bro,
ok..Sama2..Silahkan..Berbagi itu lebih Indah
Posting Komentar
Tulislah apa yang ingin Kamu tulis mengenai Artikel & Blog ini...