Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia. Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu (dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa Melayu yang tinggal di Singapura.
Periodisasi
Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
Bahasa lisan adalah suatu bentuk komunikasi yang unik dijumpai pada manusia yang menggunakan kata-kata yang diturunka dari kosakata yang besar (kurang lebih 10.000) bersama-sama dengan berbagai macam nama yang diucapkan melalui atau menggunakan organ mulut. Kata-kata yang terucap tersambung menjadi untaian frase dan kalimat yang dikelompokkan secara sintaktis. Kosa kata dan sintaks yang digunakan, bersama-sama dengan bunyi bahasa yang digunakannya membentuk jati diri bahasa tersebut sebagai bahasa alami.
Menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara.
Menulis biasa dilakukan pada kertas dengan menggunakan alat-alat seperti pena atau pensil. Pada awal sejarahnya, menulis dilakukan dengan menggunakan gambar, contohnya tulisan hieroglif (hieroglyph) pada zaman Mesir Kuno.
Tulisan dengan aksara muncul sekitar 5000 tahun lalu. Orang-orang Sumeria (Irak saat ini) menciptakan tanda-tanda pada tanah liat. Tanda-tanda tersebut mewakili bunyi, berbeda dengan huruf-huruf hieroglif yang mewakili kata-kata atau benda.
Kegiatan menulis berkembang pesat sejak diciptakannya teknik percetakan, yang menyebabkan orang makin giat menulis karena karya mereka mudah diterbitkan.
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
- Angkatan Pujangga Lama
- Angkatan Sastra Melayu Lama
- Angkatan Balai Pustaka
- Angkatan Pujangga Baru
- Angkatan 1945
- Angkatan 1950 - 1960-an
- Angkatan 1966 - 1970-an
- Angkatan 1980 - 1990-an
- Angkatan Reformasi
- Angkatan 2000-an
Pujangga Lama
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.[1]
Karya Sastra Pujangga Lama
Sejarah
- Sejarah Melayu (Malay Annals)
Sulalatul Salatin (secara harafiah berarti "Istana Para Raja") atau Sejarah Melayu merupakan suatu sejarah mengenai kebangkitan, kegemilangan dan kejatuhan zaman pemerintahan Melayu yang ditulis oleh beberapa orang pengarang Melayu. Ketika Peringgi Portugis menaklukkan Melaka, salinan Sejarah Melayu telah dibawa ke Goa/Gowa.[1]
Terdapat sekurang-kurangnya 29 versi tetapi versi yang paling masyhur adalah versi Shellabear. Menurut naskah Shellabear, Yang Dipertuan Raja di Hilir Sultan Abdullah Mu'ayat Syah ibni'l Sultan Abdul Jalil Syah telah mengutus Seri Nara Wangsa Tun Bambang untuk memerintahkan Bendahara Paduka Raja Tun Muhammad Mahmud (Tun Seri Lanang) pada hari Kamis, 12 Rabiul Awal 1021 bersamaan 13 Mei 1612 agar menyunting salinan Sejarah Melayu yang dibawa oleh Orang Kaya Sogoh dari Goa/Gowa.
Ketika itu Sultan Johor Lama, Sultan Alauddin Riayat Syah ibni Sultan Abdul Jalil Syah telah ditahan di Istana Raja Aceh, Sultan Iskandar Muda.
Sejarah Melayu (Sulalatul Salatin) bergaya penulisan seperti babad, di sana-sini terdapat penggambaran hiperbolik untuk membesarkan raja dan keluarganya. Namun demikian, naskah ini dianggap penting karena ia menggambarkan adat-istiadat kerajaan, silsilah raja dan sejarah kerajaan Melayu dan boleh dikatakan menyerupai konsep Sejarah Sahih (Veritable History) Cina, yang mencatat sejarah Dinasti sebelumnya dan disimpan di arsip negara tersebut.
Catatan
- ^ Terdapat pendapat menyatakan Goa di sini adalah di India, atau di Sulawesi. Pendukung tempat kedua berargumen, sekiranya Portugis mengambil salinan Sejarah Melayu ke Goa, India, pastinya Sejarah Melayu akan dibawa terus ke Eropa sebagai harta rampasan.
Hikayat
|
|
Syair
- Syair Bidasari
- Syair Ken Tambuhan
- Syair Raja Mambang Jauhari
Teks judul
- Syair Raja Siak
Kitab agama
- Syarab al-'Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri
- Asrar al-'Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri
- Nur ad-Daqa'iq (Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai
- Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin ar-Raniri
Sastra Melayu Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
Karya Sastra Melayu Lama
|
|
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab banyak karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.[2]
Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-teman inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka:
· Azab dan Sengsara (1920)
· Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
· Siti Nurbaya (1922)
· La Hami (1924)
· Anak dan Kemenakan (1956)
· Tanah Air (1922)
· Indonesia, Tumpah Darahku (1928)
· Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
· Cinta yang Membawa Maut (1926)
· Salah Pilih (1928)
· Karena Mentua (1932)
· Tuba Dibalas dengan Susu (1933)
· Hulubalang Raja (1934)
· Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
· Tak Disangka (1923)
· Sengsara Membawa Nikmat (1928)
· Tak Membalas Guna (1932)
· Memutuskan Pertalian (1932)
· Darah Muda (1927)
· Asmara Jaya (1928)
· Pertemuan (1927)
· Salah Asuhan (1928)
· Pertemuan Djodoh (1933)
· Menebus Dosa (1932)
· Si Cebol Rindukan Bulan (1934)
· Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)
Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang.
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :
- Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
- Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru
|
|
Angkatan 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945
- Chairil Anwar
- Kerikil Tajam (1949)
- Deru Campur Debu (1949)
- Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar
- Tiga Menguak Takdir (1950)
- Achdiat K. Mihardja
- Atheis (1949)
- Utuy Tatang Sontani
- Suling (drama) (1948)
- Tambera (1949)
- Awal dan Mira - drama satu babak (1962)
- Suman Hs.
- Kasih Ta' Terlarai (1961)
- Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
- Pertjobaan Setia (1940)
Angkatan 1950 - 1960-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an
Angkatan 1966 - 1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis.[3] Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966
Angkatan 1980 - 1990an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 - 1990an
- Ahmadun Yosi Herfanda
- Ladang Hijau (1980)
- Sajak Penari (1990)
- Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
- Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
- Sembahyang Rumputan (1997)
- Arswendo Atmowiloto
- Canting (1986)
- Hilman Hariwijaya
- Lupus - 28 novel (1986-2007)
- Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003)
- Olga Sepatu Roda (1992)
- Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
- Dorothea Rosa Herliany
- Nyanyian Gaduh (1987)
- Matahari yang Mengalir (1990)
- Kepompong Sunyi (1993)
- Nikah Ilalang (1995)
- Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
- Gustaf Rizal
- Segi Empat Patah Sisi (1990)
- Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
- Ben (1992)
- Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
- Remy Sylado
- Ca Bau Kan (1999)
- Kerudung Merah Kirmizi (2002)
- Afrizal Malna
- Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
- Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990)
- Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
- Dinamika Budaya dan Politik (1991)
- Arsitektur Hujan (1995)
- Pistol Perdamaian (1996)
- Kalung dari Teman (1998)
Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi
Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000
- Dewi Lestari
- Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
- Supernova 2.1: Akar (2002)
- Supernova 2.2: Petir (2004)
- Habiburrahman El Shirazy
- Ayat-Ayat Cinta (2004)
- Diatas Sajadah Cinta (2004)
- Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
- Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
- Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
- Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
- Dalam Mihrab Cinta (2007)
- Andrea Hirata
- Laskar Pelangi (2005)
- Sang Pemimpi (2006)
- Edensor (2007)
- Maryamah Karpov (2008)
- Padang Bulan (2010)
- Cinta Dalam Gelas (2010)
(Catatan: Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas terbit bersamaan dalam satu buku)
- Ahmad Fuadi
- Negeri 5 Menara (2009)
- Tosa
- Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
- Melan Conis (2009)
Cybersastra
Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra Indonesia yang tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia maya (Internet), baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit, maupun situs pribadi. Ada beberapa situs Sastra Indonesia di dunia maya semisal : duniasatra(dot)com.
Pranala luar
- http://www.sumpahpalapa.com/ (lihat link sastra)
- http://www.cybersastra.net/
Referensi
- ^ Ricklefs, M.C. (21 Desember 1991). A History of Modern Indonesia 1200-2004. London: MacMillan. hlm. 117.
- ^ Mahayana, Maman S, Oyon Sofyan (21 Desember 1991). Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern. Jakarta: Grasindo. hlm. 370.
- ^ Yudiono (21 Desember 2010). Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo. hlm. 167.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulislah apa yang ingin Kamu tulis mengenai Artikel & Blog ini...