Aku memang sungguh mencintainya, aku pun tak ingin kehilangannya. Aku tak pernah tahu mengapa cintaku harus berjalan menyusuri alur yang begitu bendek, begitu singkat hingga berakhir sampai di sini. Aku ingin semuanya seperti dahulu lagi. Kemesraan yang dulu ada kini telah hilang, musnah bersama berlalunya sang waktu. Apa salahku hingga aku mendapatkan penderitaan seperti ini? Apa dosaku hingga dia menghilang, meninggalkan aku yang begitu dalam rasa cintaku.
Ya….Rabb, ke mana harus aku langkahkan kaki ini? Kemana harus kulafadzkan kalimat cinta ini? Haruskah aku melupakannya, atau haruskah aku membencinya..? Tapi tidak Tuhan, karena dia telah mengajarkan kepadaku arti hidup ini. Kuucapkan terimakasih kepada-Mu dan kepadanya karena engkau telah memnpertemukan aku dan dirinya. Karena dia pula aku tahu dan mengerti arti hidup yang sesungguhnya. Dia telah menjadikan aku seperti sekarang ini.
Aku menatap lekat-lekat rangkaian kalimat yang pernah kutulis dengan rapi di dalam buku diaryku. Teman yang telah menjadi bagian dari hidupku. Ya, selalu menemaniku bercerita dan bercanda dikala aku sedih maupun bahagia.
Di ujung jalan di beranda rumahku. Kulirik sebentar tanaman bunga yang indah dengan tertata rapi. Bunga yang tumbuh di dalam pot-pot kecil yang selalu dijaga dan disirami oleh Ibundaku tercinta. Malam gelap berkelabat di depan mataku. Rembesan air hujan yang jatuh dari atas atap rumahku terkadang membias mengenai kakiku yang sengaja kujuntai kelantai.
“Ah….!” Aku mendesah, sekedar menghilangkan kepenatan di kepalaku yang sudah berapa hari ini terisi membuat aku sesak akibat tugas kuliahku yang hampir setiap hari bermukim. Ada-ada saja…!
Hujan belum juga redah. Sudah berapa hari ini Makassar, si kota Angin Mamiri tak pernah sirnah dari hujan. Sepertinya mulai bersaing dengan Bogor, si kota hujan itu.
Udara terasa begitu dingin, kuraih jaketku yang berwarna hitam dengan bis butih di lengannya. Kupakai untuk sekedar menetralisir rasa dingin yang kini mulai menggerogoti tubuh kecilku. Kusulut api sebatang rokok clas mild. Kuhisap dalam-dalam. Perlahan kukeluarkan lama kian terbang lalu terurai.
Pandanganku masih jauh menerawang menembus aura dingin dan sepi yang terbalut gelap. Tak ada seorang teman. Di ujung jalan di depan sebuah warung kecil hanya ada dua orang lelaki setengah baya yang sedang asyik mengobrol dengan sebatang rokok masing-masing ditangan mereka. Kebetulan rumahku lagi kosong. Kedua Orang tuaku sudah hampir dua hari berada di rumah pamanku bersama kedua orang adikku, termasuk si kecil cerewet yang masih berumur empat tahun. Pamanku tinggal di sebuah kota kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Tengah.
Angin meneriakkan dedaunan. Hembusannya terasa menyentuh kulitku yang kini masih duduk terdiam di beranda rumahku. Suasana begitu hening hanya cik-cik percik suara hujan yang terdengar dan alunan lagu Kangen Band yang sengaja kusetel di program pemutar musik di ponselku. Kusandarkan kepalaku di dinding sembari menikmati alunan lagu yang nyaris membuatku terkanduk dalam dudukku.
Ku pandangi sesaat sekelilingku. Tak berapa lama kutegakkan tubuhku, berjalan menuju kamarku. Kupandangi seisi kamarku semuanya terlihat sedikit berantakan . Maklum kalau lagi sendiri nggak ada yang ngurusin.
Rumah terasa sepi. Tak ada lagi suara tawa-tawa kecil dan tangisan kecil memanja. Ya…begitulah suasana rumahku kalau lagi ramai. Mataku sepertinya tak dapat lagi diajak kompromi. Sepertinya tak sabar lagi untuk terlelap dalam dekapan bantal.
“Bruak….!” Tubuhku kujatuhkan di atas kasur empuk. Ponsel yang tadinya kupegang kulempar begitu saja ke sisi tempat tidurku. Kedua tanganku terlentang. Sayup-sayup mataku menatap langit-langit kamar. Kembali hening hanya suara musik dari ponselku yang masih terdengar mengalun. Fikiranku kembali melayang memenuhi seisi ruang kamarku. Aku teringat sepenggal kalimat yang pernah diucapakan oleh seorang penulis Novel yang pernah kubaca. Kalau tidak salah dia bernama Fitri R. Ghozally. Dalam tulisannya dia katakana; kepergiannya adalah sebuah makna terindah, menghadirkan kekuatan maha dahsyat untuk melaju, terbang tinggi seperti elang. Ya….akulah elang yang tengah merajai sang jagad..!. Kalimat itu mencoba membawaku tuk beranjak dari fikiranku. Apa yang harus aku lakukan atas diri dan rasa ini?.
Hari belum juga letih menyambutku. Kembali kutampakkan wajahku di antara hunian orang-orang yang beragam. Sebuah kampus biru yang kudiami seakan menyambutku dengan beragam suara dan dialektika. Tak terkecuali wajah-wajah yang taka sing lagi di mataku. Senyum dan canda tawa kutemui lagi di sana sini. Sudah berapa tahun aku hidup dalam kebelitan berfikir yang terkadang sesak kumenyapanya. Jauh di sana ada kehidupan yang belum tentu kepastiannya untuk masa depan. “Ah…Mahasiswa….!” Terkadang kata-kata itu terlontar dari bibirku. Ya…itulah sebutan untukku dan kawan-kawanku yang sama hidup dalam dunia kampus. Mahasiswa....ya, Mahasiswa. Tapi aku sendiri tidak terlalu yakin ataupun faham dengan nilai yang terkandung di dalamnya untuk mereka yang menyandang kata itu. Karena bagiku kata “Mahasiswa” hanyalah berupa simbolisme atau pelambang yang pada hakikatnya tersirat sebuah tanggung jawab yang diemban. Namun kenyataannya masih banyak dari mereka yang jauh panggang dari api.
Nilai-nilai serta kepribadian yang mereka anut tak lagi seperti apa yang diharapkan sebagai seorang “Mahasiswa”. Aku sendiri tak tahu apa jawaban ataupun alasan yang layak ataupun tepat dikala hadir seberkas pertanyaan .
“Mengapa Mahasiswa itu sikapnya begini dan begitu?”
“Mengapa pula Mahasiswa itu bisa jadi begini dan begitu?” mungkin seperti itu pertanyaan-pertanyaan yang akan merangkul pendengaranku. Tapi tak apalah, itu semua terserah dari siapa yang menganut isme itu. Jawaban apa ataupun alasan apa yang akan mereka hadirkan untuk menepis pertanyaan itu dan mungkin masih banyak lagi sederet pertanyaan seperti itu dan butuh pula beragam jawaban dan alasan yang dapat mengelaknya.
Aku seorang Mahasiswa. Aku tahu betul itu meski masih ada kekurangan dalam mengemban kata itu. Banyak ragam raut, etnis dan warna serta penampilan yang kukenali lewat pergaulanku. Di kampus biru kugantungkan cita-cita dan harapanku. Di sana pula akan kucoba labuhkan diri dan rasa ini, entah pada siapa biarlah waktu yang menjawabnya.
Siang belumlah usai memberikan warna terangnya. Kemarin Makassar seharian diguyur hujan. Sekarang, begitu berani mentari menampilkan kekuasaannya di antara penghuni kota Daeng. Di sini di kota Angin Mamiri hidup tak semudah kita membalikkan telapak tangan. Seperti kata orang-orang, di Jakarta semuanya tak gampang didapat. Begitulah Jakarta kota metropolitan. Namun, tak jauh berbeda dengan Makassar, di tengah teriknya pun masih begitu banyak yang berseliweran. Berlari menjemput impiannya, bersenggolan di antara keringat dan tenaga, bercanda dalam atap-atap harapan di hatinya. Begitulah pemandangan Makassar di antara hiruk pikuknya melodrama yang seringkali membuat orang tergiur untuk menjamahnya.
“Ah…!” Aku membuang nafas. Mataku memandang dengan leluasa. Di lantai tiga kampus, aku duduk. Mataku tertuju pada sebentuk kehidupan di kota yang telah mengizinkanku tuk mengenyam pendidikan dan menimbah pengalaman. Jauh di sana pula pandanganku terhenti pada sosok seorang hawa yang tak pernah kukenali sebelumnya. Seorang gadis yang tengah berjalan bersama empat orang temannya melintasi area parkir, tepat di bawah pohon pelindung. Kecantikan itu tersirat dari garis-garis wajahnya. Senyum yang merekah melukiskan kelembutan bertutur kata. Dedaunan bergoyang seakan sengaja menghalangi pandanganku yang sedari tadi memparhatikan bentuk itu. Siapakah gerangan dirinya.. Perasaanku berkecamuk, jantungku berdegab degub kencang. Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi pada diriku.
“Apakah ini yang dinamakan perasaan pada pandangan pertama?” Bisikku dalam hati. Rasa penasaran beradu dengan rasa ingin memiliki.
Jauh di sana di kampung halamanku, telah pernah kutemukan sebentuk hawa yang cantik, anggun dengan kesederhanaannya, itu dahulu. Di sini, di kota Daeng kutemukan kembali sosok itu dengan penampilan yang berbeda.
“Mungkinkah ini jawaban itu yang telah kunantikan?” kembali aku membisik. Jilbab super besar hingga ke ujung kaki, hanya wajah yang tampak jelas. Lama nian kusiasati hingga akhirnya kutahu dirinya bernama Fatimah. Nama yang cukup indah untuk dilafal dan didengarkan. Ya….Fatimah dengan asal yang jauh pula. Fatimah, seorang muslimah dengan penampilan yang khas sebagai seorang wanita. Jilbab besar serta paras yang menggoda, kulit kuning langsat membuat aku terus bertanya.
Keanggunannya tetap jelas meski tubuhnya terbaluti rajutan ratusan benang hingga menutupinya. Aku hanya dapat menatapi seraut wajah dan jari jemari yang cukup lincah dalam melakukan sesuatu dikala kucuri pandang lewat sudut mata. Fatimah dengan tutur kata yang lembut serta sepasang bola mata yang bening bagai butiran-butiran embun di pagi hari yang belum terjamah sang mentari. Di suatu hari kutahu dirinya bertetangga denganku dalam urutan kelas dan ruangan dengan kepribadian yang tak mudah diterka pula. Namun, yang kutahu Fatima adalah seorang gadis yang cantik. Seorang muslimah dengan kelembutan serta keteguhan iman atas kebesaran sang Khalik pecinta atas segalanya.
Di kala mata ini menggerayangi sosok-sosok yang ada di sekelilingku, terkadang pandanganku terhenti dikala menyentuh sosok itu. Fatimah, muslimah dengan jilbab super besar yang tak pernah bosan membalutinya. Kau adalah gadis misterius yang pernah kutemui dalam hidupku yang kekinian. Dalam tubuh ini ada secuil daging yang selalu membisiki aku bahwa di balik jilbabmu kau menyiratkan pesona yang membuat mata ini, hati ini terus mengagumimu. Kau begitu sempurnah di mataku. Di balik gaunmu tersirat kesucian dan kebeningan hati.
Malam kembali terbentang dengan lembaran hitamnya serta manik-maniknya yang membias. Entah telah berapa banyak kisah antara aku dan Fatimah yang telah terlukis dalam kanvas hatiku. Bersama deretan waktu yang terus membuntutiku hingga kini. Tak pernah hilang jejaknya yang pernah kupijaki dalam mencari lembaran-lembaran cintaku. Aku tak pernah bosan dengan kehadiranmu, penampilanmu, serta tuturmu. Aku ingin hidup seribu tahun lagi kata Chairil Anwar, untuk bisa selalu bertemu dan menatapmu. Mungkin engkau tak pernah tahu bahwa di sudut ruang hidupmu ada titisan Adam yang selalu mengagumimu, yang selalu memujamu, bahkan mengimpikan kehadiranmu, itulah aku. Aku telah jatuh cinta. Sunggingan kedua belah bibirmu, tatapan matamu selalu membangunkanku dari kelapukan ini yang mungkin akan runtuh. Tapi kau hadir dengan pesonamu yang tercipta atas keteguhan iman. Tak mudah kusentuh dinding kalbumu dikala kuingin memilikimu. Akankah kau duduk di sampingku tuk menanyakan tentang diriku? Ataukah sekedar berada di dekatku dalam canda tawa?. Pernah kucoba merangkaikan kata untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu pada dirimu. Namun, apa yang kudapatkan hanyalah mengahdirkan pertanyaan baru bagiku.
Fatimah. Ya….aku teringat dengan sebuah keluarga. Keluarga sang penuntun ummat, Nabi Muhammad SAW. Aku teringat pula kau pernah berkata tentang itu, tentang namamu yang telah dipilih oleh kedua Orang tuamu tuk dititipkan kepadamu. Sepertinya kau begitu faham dengan arti sebuah nama. Kau begitu setia dan mengabadikan nama itu. Bagaikan sesuatu yang yang tak dapat terbayarkan. Ya…memang deretan huruf itu tak satupun dari mereka yang mampu membelinya. Tak seperti bayang-bayang realitas yang selalu melintasi panggung ini dengan pelakonnya yang menggunakan nama tak lagi seperti titipan sang Khalifah, katanya “gaul”. Tapi kau begitu ikhlas dengan sebutan itu. Kau memeliharanya dengan siraman-siraman iman hingga berbunga dalam dirimu dengan sejuta wangi hadirkan pesona.
Wajahmu selalu tersirami air suci. Tubuhmu selalu tersujud terpaku di setiap waktu. Aku tahu itu. kau tak pernah lupa dengan sang Khalik, sang pemilik segalanya. Akupun tahu bahwa diri ini tak seperti dirimu, yang selalu meneteskan air mata dalam sujud patahmu di ujung malam. Semoga kau kan tetap menjadi seorang Fatimah, muslimah dengan pesona yang selalu terbingkai keimanan. “Wanita yang baik akan mendapatkan laki-laki yang baik pula”. Ya…kalimat itu yang kadang terlintas dalam benakku, dan aku yakini akan hal itu disaat kupandangi dirimu. Akupun yakin jauh di sana sang pemilik cinta telah mengutus seorang lelaki untuk menjadi mikikmu, untuk menjdi pendampingmu, dan menjadi Khalifahmu dengan keteguhan iman seperti dirimu. Namu mungkin itu bukanlah diriku. Tapi mengapa Tuhan menciptakan dirimu dan diriku dengan menghadirkan pula perasaan ini? Mengapa juga aku harus dipertemukan denganmu di saat usia ini belum pulih? Di saat diri ini masih terombang ambing?
Senja telah merapat ke dermaganya meninggalkan jejak-jejak siang yang membekas, yang pasti akan menjadi pengalaman berharga bagi siapa pun yang berhasil melewatkan siang hingga malam menjemput. “Ya….Tuhan, apakah aku akan selalu sanggup berada bersamanya, sementara rasa dan hatinya bukan untukku? Dirinya telah pernah berkata kepadaku bahwa jauh di sana di tanah Arab ada seorang lelaki yang selalu dinantikannya, selalu diharapkan kedatangannya. Aku tahu Tuhan, aku harus lebih bersabar menghadapi semua ini, namun aku mohon padamu izinkanlah aku untuk tetap bias bersama gadis ini….” Aku berkata dalam hati. Mataku menatap ke atas memohon keajaiban datang pada kehidupanku.
Malam yang indah dengan Fatimah di sampingku. Langit malam kelam, tapi bintang tetap bercahaya begitu pula dengan Fatimah. Wajahnya tetap teduh, bercahaya tak pernah redup sekalipun gelapnya malam ada bersamanya. Aku pun begitu adanya seolah menantang pada langit malam, sepasang mataku menatap tajam pada bintang, sesekali kumencuri pandang pada gadis yang selama ini terpatri dalam hatiku dikala kududuk di sampingnya.
Langit mulai kelam. Fatimah tetap memandangi langit, bintang-bintang tetap cantik dalam kelamnya sang malam. Kutatap dirinya dalam tatapan yang teduh. Fatimah tidak pernah tahu bahwa di balik tatapanku yang teduh itu ada segudang pengharapan. Fatimah tidak pernah mengetahuinya, karena hati dan rasanya hanya ditujukan untuk seseorang yang kini masih berada di tanah Arab.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulislah apa yang ingin Kamu tulis mengenai Artikel & Blog ini...