Kaki terus terayun. Melangkah menyusuri tepian jalan mencari suatu jawaban dunia. Tiba-tiba langkahnya terhenti dengan hadirnya suara tanya membuat pikirannya kembali normal yang sedari tadi terus berputar.
“Hai Pan, mau kemana kamu..!?” tanyanya sembari memperhatikan wajah sahabatnya yang terlihat kusut. Pertanyaan itu sia-sia saja tak digubrisnya. Topan tetap diam. Bungkam seribu bahasa, menatap cahaya lampu-lampu jalan yang mengintipnya dari balik dedaunan pohon yang berbaris bagai barusaja mendapat komando. “Kini aku sendiri. Tak ada lagi yang menemaniku mengarungi sang malam seperti hari-hari kemarin. Sudah banyak kepingan hari yang kulewati tanpa petikan suara Fika. Suara yang selalu membuat hatiku bernyanyi, menghadirkan sejuta bahagia. Ris! Kamu nggak di mana keberadaan Fika sekarang. Atau mungkin kamu pernah melihatnya akhir-akhir ini?” ucap Topan memecah suasana setelah mereka sampai pada suatu tempat. “Aku tak tahu Pan, aku juga tak perna lagi melihatnya.” “Lalu ke mana dia, di mana dia sekarang. Sementa aku selalu merindukannya. Tempat ini telah merindukan canda tawanya, begitu pun aku.” Keluhnya sembari memandangi Riska yang duduk di samping kirinya. “Kamu yang sabar ya Pan. Fika pasti akan datang tuk menemuimu. Aku yakin dia juga pasti merindukanmu. Merindukan tempat ini.” Ucap Riska coba menenangkan sahabatnya itu. “Tapi telah lama aku menunggunya dalam balutan kerinduan. Kamu kan tahu Ris, sudah banyak penggalan waktu yang kulewati tanpa dia. Aku ingin menatapnya, menikmati senyumannya, mendengarkan canda tawanya. Aku kangen kamu Fik.” Timpalnya dengan mimik menahan kecewa dan emosi.
Keduanya terdiam. Menunduk larut dalam arus pikiran masing-masing. Suasana menjadi sepi. Keadaan menjadi tenang hanya bisikan-bisikan malam yang terdengar lewat hembusang sang bayu. Keduanya merenung. Nampak wajah keduanya tak lagi berkerut, terutama Topan. Emosinya mulai redah. “Maafkan aku Ris! Aku Khilaf.” Katanya memecah sauna yang hening dengan penuh ketenangan. “Tidak apa-apa ko Pan! Aku ngerti dengan apa yang kamu rasakan.” “Ris! Makasih atas semua bantuanmu. Tapi kelihatannya kamu begitu yakin atas jawabanmu ketika kutanyakan tentang Fika. Kamu nggak apa2 kan!?” “Iya..aku baik2 aja kok! Aku hanya ingin kamu baik2 aja Pan.” Coba meyakinkan lagi sahabatnya. “Aku tak mungkin bercerita sekarang tentang Fika yang sebenarnya ma kamu Pan. Dia sahabatku dan kamu juga sahabatku. Aku tahu kamu sangat mencintai Fika. Tapi belum saatnya untuk aku menceritakan semuanya tentang Fika ma kamu Pan. Untuk saat ini kan kusimpan history ini dalam nuraniku sebagai sahabatku yang pernah kumiliki.” Gumam Riska coba mengintip hatinya. Ia menatap sekilas wajah Topan. Di sana ia temukan sejuta rasa yang berkecamuk yang terbalut dengan ketulusan. Riska menarik nafas yang tidak terlaalu panjang entah yang keberapa kalinya. “Aku heran bercampur bingung dengan perubahan Fika akhir2 ini. Dia tak pernah lagi menghubungiku, membalas sms-ku pun tidak.” Keluhnya dengan wajah cemas dan gelisah.
Fika memang satu-satunya wanita yang dicintainya,selain dari keluarganya. Walau terkadang Fika membuatnya emosi. Namun semua itu hanyalah sebuah canda yang akan berujung tawa dan bahagia. Tempat yang biasa mereka sering bertemu tuk bercengkrama dan membagi sejuta rasa memang agak jauh dari jalanan. Tepat berada di bawah sebuah pohon yang cukup rindang dengan pohon yang sedang2 sehingga dikala sang penerang dunia muncul menampakkan wajahnya yang putih perona, cahayanya hanyalah berupa serpihan-serpihan saja tak seutuhnya menerangi tempat peraduan dua insan itu. Sehingga suasana tampak begitu indah meramu dengan suasana. Disitulah mereka biasa bertemu melepaska kepenatan dalam keseharian dengan membagi dan memberi akan warna warni pelangi dengan lukisan alam yang tak pernah pudar dengan kemerlipanya yang jauh membentuk garis horizon-vertikal.
Fika tak juga datang. Lama Topan menunggu kehadirannya. Pandanganya selalu awas di sekelilingnya dan juga ujung jalan, arah di mana Fika akan muncul. Jarum jam di pergelangan tangannya menunjukkan angka 12 yang berarti malam telah larut, telah lama menjuh dari siang. Topan tetap setia duduk menantikan kehadiran sang pelangi hatinya yang telah lama tak pernah menampakkan warnanya tuk hiasi hatinya yang kian gersang. Suasana kian hening tak ada lagi suara insan yang berkicau hanyalah siulan2 angin yang membisiki telinga, mencumbui menghadirkan dingin yang menusuk tulang. Sementara Riska masih berada di sampingnya. “Pan! Aku balik dulu ya..soalnya ini uda larut malam.” Terdengar suara Riska memecah keheningan. “Oh..iya makasih ya uda temani aku kamu hati-hati di jalan ya!”
Malam kian larut Riska pun telah menghilang di telan malam. Topan masih saja memburu waktu yang terus berjalan. Menanti berharap Fika akan datang di tempat itu. “Mengapa mala mini dan malam2 sebelumnya Fika tak pernah datang menemuiku?. Jangan2 dia sakit atau…………” Tanyanya mengintip hatinya coba mencari jawaban. Malam semakin jauh suasana kian hingar. Hening. Kerinduan mulai terbelenggu dengan hadirnya sejuta tanya. Angin malam mulai meronta membelai suasana, merangkul jiwa yang gunda gulana. Topan kembali melirik jam tangannya, jam itu kembali menatapnaya dengan menunjukkan angka 1. Ia tak menyadari ternyata telah sejam ia di temani keheningan setelah kepergian Riska. Dengan hati masih penuh dengan sejuta tanya..Dirinya pun memutuskun untuk pulang kerumahnya.
Siang itu hari tampak cerah. Mentari tampak ceria dengan menampakkan warna keemasannaya dengan sejuta asa. Namun hati Topan tak secerah dan sedamai hati cosmos. Topan kembali hadir dalam dunia kampus. Seakan semuanya mengucapkan “welcome to campus…..Topan.” Siang itu ada yang tampak aneh dari pandangannya. Dengan suasana tak seperti hari-hari biasanya. Setiap rombongan dan perkumpulan teman2nya seperti sedang membicarakan suatu peristiwa yang menghadirkan sejuta tanya dalam dirinya. Lengkap sudah pertanyaan yang hadir dalam kepala dan dadanya. Topan kian bingung melihat keadaan di sekelilingnya. Ia coba memberanikan diri tuk menyimak pembicaraan teman-temannya. Ada satu kata yang dindengarnya dan taka sing lagi baginya, Fika. Ya ……itu dia Fika. Nama gadis yang selama ini ia risaukan. Bayanngan Fika meronta dalam benaknya. Ia berlari mencari Riska coba menemukan jawaban atas juta tanya dalam dirinya. Topan tahu hanya pada Riskalah ia bisa mendapatkan jawabannya
Ditemuinya Riska yang sedang duduk menyendiri menjauh dari teman2nya di bawah sebuah pohon yang tidak rindang dengan dahan yang berjauhan dengan raut wajah yang seakan menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya. “Ris! Apa yang sedang terjadi pada dirimu? Mengapa kamu seperti ini?” “Aku tidak apa-apa Pan! Aku hanya kesal sama teman-teman”. Tanpa ekspresi, menahan gemuruh perasaannya. “Ris, aku mau tanya tapi kamu harus menjawabnya dengan jujur. Sebenarnya ada apa dengan Fika, apa yang telah terjadi dengannya?” Dengan mimik penasaran dibalut kekhawatiran. Namun tak ada jawaban yang terlontar dari bibir sahabatnya itu, Riska tek menggubrisnya hanya air mata yang sibuk mengikuti alur wajahnya mengaliri pipinya. “Mengapa kamu menangis Ris?” tanyanya bertambah bingung ketika melihat manik-manik air mata, bening bagaikan embun yang belum tersentuh tatapan matahari dipelupuk mata sahabatnya itu yang kian merembes memebentuk alur diwajahnya. “Pan,kamu harus sabar ya. Kamu yang sabar”. Dengan suara yang berat sambil terisak-isak. Kata itu membuat hati Topan semakin kalut dengan keadaan yang kini ada didepannya. “Iya,,tapi ada apa? kamu jawab dulu pertanyaan aku”. “Pan,,sebenarnya,,,,,,,,,,,hiks..hiks..hiks…sebenarnya Fika telah meninggal beberapa minggu yang lalu, dia telah meninggalkan kita Pan. Dia tertabrak mobil tak jauh dari tempat kalian biasa bertemu”. Ungkap Riska dengan suara terbata-bata diiringi isakan tangis.
Kicau burung bernyanyi,bersiul tak perduli apa yang terjadi. Sapuan-sapuan sang bayu tetap saja seperti biasa. Topan yang kini terkejut, sama sekali tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan temannya itu. Tubuhnya gemetar, terasa dingin terparah lagi hatinya retak remuk hancur tak berkeping setelah mendengar semuanya tentang Fika, kekasihnya itu. Siang yang cerah itu bagi Topan tak ada lagi warna, yang ada hanyalah kegelapan dan kehampaan semuannya terasa kaku. Tak sanggup hati dan pikirannya menerima semua itu. Tapi apalah daya jika memang sang Khalik telah memggariskan cintanya harus pupus dengan adegan seperti itu, hancur. Dengan ketidak relaan Topan harus menerima cerita cintanya dengan alur dan ending yang tak pernah ia bayangkan. Segalanya seakan petir yang menyambar di siang hari. “Maksudmu……?” Tanyanya dengan mata berkaca-kaca,pearasaan yang berkecamuk berantakan. Namun pertanyaan itu tak mendapat jawaban untuk yang kedua kalinya dari Riska. Hanya tangis yang selalu menyertai pertanyaannya itu. Sementara Riska sibuk menggikuti pertunjukan sebuah kisah di dalam hatinya ditemani linangan air mata melihat seorang sahabat yang paling baik yang pernah ia temui dan ia miliki. Topan melayangkan pandangannya jauh menembus batas cakrawala menyaksikan kepergian sang pelangi yang dulu pernah ada, memberi warna dalam hidupnya. Tak lama kemudian Topan pun melangkahkan kakinya beranjak meninggalkan Riska yang masih tenggelam dalam duka. Hingga teriakan Riska tak digubrisnya. Ia sibuk menyeka air matanya.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulislah apa yang ingin Kamu tulis mengenai Artikel & Blog ini...